Beberapa waktu lalu, ulama-ulama perempuan dari seluruh Indonesia berkumpul di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamiy di Babakan Ciwaringin Cirebon untuk momen yang bersejarah: Kongres Ulama Perempuan Indonesia alias KUPI!
Kongres ini adalah ajang pertemuan dan merapatkan barisan buat ulama-ulama perempuan Indonesia yang sudah lama ikut menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat–mulai dari kekerasan seksual, pernikahan usia anak, hingga perusakan alam dan radikalisme.
Salah satu momen paling keren dari kongres ini adalah saat para peserta kongres menyatakan bahwa ulama perempuan setara dengan ulama laki-laki, dan deklarasi itu dibacakan di depan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.
Tapi, kongres ini juga menghasilkan tiga pendapat hasil musyawarah yang nampol banget. Salah satunya adalah tentang kekerasan seksual.
Kekerasan Seksual = Haram!
Bagian pertama dari hasil musyawarah KUPI tentang kekerasan seksual secara tegas menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah tindakan yang haram. Alasannya?
“Kekerasan seksual dalam bentuk di luar atau dalam pernikahan adalah haram karena melanggar hak asasi manusia yang dijamin dalam Islam.”
Korban kekerasan seksual harus dilindungi.
Banyak banget kasus di mana korban kekerasan seksual kemudian dijauhi oleh masyarakat dan diperlakukan secara tidak adil oleh aparat. Bahkan korban kekerasan seksual kerap dituduh “mengundang” kekerasan seksual karena perilaku atau pakaian mereka yang dianggap merangsang birahi sang pelaku. Aneh, kan.
Menanggapi ini, KUPI menyatakan bahwa:
“…perkosaan tidak sama dengan perzinahan baik secara pengertian dan pembuktian hingga pada hukuman.”
Otomatis, hasil musyawarah ini seperti menampar pandangan masyarakat maupun aparat hukum yang menuduh korban pemerkosaan ikut melakukan zina, salah satunya seperti yang terjadi di Aceh.
“…korban perkosaan tidak bisa dihukum, dikucilkan, dan direndahkan martabat kemanusiaannya. Sehingga korban perkosaan berhak mendapatkan pemulihan secara psikis, fisik, sosial, hingga kompensasi.”
Keren ya!
Negara wajib memenuhi hak korban.
Hasil musyawarah tersebut enggak cuma menghimbau masyarakat untuk berlaku adil kepada korban kekerasan seksual. KUPI juga mendorong negara untuk memenuhi hak korban dan melindungi korban agar masa depannya tetap terjamin dan ia bisa membangun hidup yang layak.
“Negara dalam kasus kekerasan seksual wajib hadir untuk menjamin pemenuhan hak-hak warga negara, termasuk korban.”
Lebih jauh lagi, hasil musyawarah tersebut mengecam perilaku aparat negara yang mempersulit proses hukum bagi korban kekerasan seksual, apalagi aparat yang malah mendiskriminasi korban dan bahkan menjadi pelaku kekerasan seksual.
“Jika negara melakukan pengabaian, mempersulit, dan menyia-nyiakan hak warga negara khususnya korban kekerasan seksual maka negara telah dzalim dan melanggar konstitusi. Tidak hanya itu, bahkan negara atau pihak berwenang melakukan kekerasan seksual maka sepatutnya dihukum lebih berat (taqlidu al uqubah).”
Hasil musyawarah kedua dari KUPI ini begitu masuk akal dan melindungi korban. Sekadar info, kongres tersebut dihadiri lebih dari 500 peserta dari berbagai latar belakang dan berlangsung pada 25-27 April 2017 lalu di Cirebon, Jawa Barat. Disaksikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, para ulama perempuan yang hadir di kongres bersejarah ini enggak mau tinggal diam melihat perempuan didiskriminasi, dipinggirkan, dan dianggap masyarakat kelas dua.
Salut!