Sebelumnya, kami sudah membahas 12 hak kesehatan reproduksi yang harusnya dimiliki semua orang, termasuk anak muda. Kalau kamu baca benar-benar, kamu akan paham kenapa 12 hak itu dirumuskan, dan kenapa hak itu perlu dilindungi oleh pemerintah. Kamu pasti tidak mau kan tinggal di dunia di mana kamu tidak berhak aman dari penyiksaan, tidak boleh mengakses layanan kesehatan, dan tidak boleh menolak kalau dipaksa aborsi?
Sayangnya, 12 hak yang kayaknya mendasar banget itu belum juga dilaksanakan. Atau, setidaknya, belum dijaga secara sempurna. Alasannya? Banyak! Di antaranya 5 alasan hak kespro kamu belum terpenuhi antara lain:
1. Faktor Ekonomi
Ada satu fakta ngeri: menurut data dari Susenas 2014 yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik, sekitar 11,75% perempuan usia 15-19 tahun sudah atau pernah menikah. Angka ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak diterpa kasus pernikahan anak.
Ada dua temuan lebih lanjut yang juga sayang kalau dilewatkan: 75% kelompok tersebut hidup di daerah rural atau pedesaan, dan 80% perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun hanya berpendidikan setingkat SMP ke bawah.
Seseorang tidak mungkin tiba-tiba menikah saat dia masih duduk di bangku SMP. Data di atas menunjukkan bahwa pernikahan anak cenderung terjadi di kalangan keluarga kurang sejahtera di daerah-daerah yang kurang berkembang.
Kita ambil contoh di Bondowoso, Jawa Timur, di mana pernikahan anak marak terjadi. Menurut penuturan Zumrotin K. Soesilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan, kondisi ekonomi yang sangat buruk membuat orang tua melihat pernikahan anak sebagai cara agar mereka tidak perlu menghidupi si anak perempuan. Ketika perempuan itu sudah dinikahkan, yang bertanggung jawab menafkahinya adalah suami, bukan keluarga.
2. Hukum yang Ribet atau Tidak Memadai
Ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual seperti pemerkosaan, belum tentu korban itu akan langsung melapor ke pihak berwajib. Bisa jadi, dia takut melapor karena diancam oleh pelaku. Yang lebih sedih lagi, bisa jadi korban enggan melapor karena dia takut dicibir alias distigma oleh masyarakat. Walhasil, ketika mereka akhirnya melapor, banyak bukti fisik dari kekerasan seksual tersebut mungkin sudah hilang. Bekas sperma mungkin sudah dibersihkan dan bekas luka serta memar sudah sembuh semua.
Masalahnya, hukum kita masih mewajibkan dilakukannya visum et repertum untuk kasus pemerkosaan. Sederhananya, dalam visum et repertum, dokter memeriksa kondisi fisik korban untuk mencari tahu seberapa jauh kekerasan yang ia alami. Lalu, bagaimana jika kejadiannya sudah berbulan-bulan lalu dan tanda kekerasan fisik itu sudah banyak yang hilang?
Ini yang jadi masalah. Harusnya, menurut Kombes. Pol Sri Rumiati, pemeriksaan psikologis wajib juga dilakukan. Alasannya masuk akal: luka batin atau psikologis pasti akan lebih membekas daripada luka fisik. Tapi, hasil pemeriksaan psikologis belum sekuat visum et repertum di muka hukum.
3. Stigma dari Masyarakat
Apakah kamu pernah ke klinik atau dokter untuk memeriksa kesehatanmu? Kenapa tidak?
Jika kamu menjawab “karena aku enggak merasa sakit”, pemikiranmu serupa dengan anak-anak muda lainnya yang diteliti oleh Rutgers WPF pada tahun 2014. Banyak orang ogah mengakses layanan kesehatan karena menurut mereka layanan kesehatan hanya perlu jika mereka sakit. Belum lagi ketakutan untuk dicibir orang jika ke klinik (khususnya klinik kesehatan reproduksi).
Stigma ini adalah salah satu alasan kenapa belum banyak anak muda yang mengakses layanan kesehatan. Padahal, tak peduli kamu merasa sehat atau tidak, memeriksa kesehatan secara rutin itu perlu. Apalagi, banyak infeksi menular seksual tidak menunjukkan gejala apa pun selama bertahun-tahun, sampai semuanya sudah terlambat.
4. Fasilitas yang Tidak Memadai
Jika kamu sudah berpikir, “Iya sih, kayaknya aku harus cek ke klinik”, tapi tidak ada klinik yang dekat dengan rumah kamu. Perjalanan ke klinik terdekat harus kamu tempuh dengan sepeda motor yang tidak kamu miliki. Kalaupun akhirnya kamu bisa meminjam sepeda motor orang tua atau menumpang teman, ternyata klinik itu tutup tak lama setelah jam pulang sekolah. Kalaupun tempat itu buka di jam dan hari yang oke, ternyata petugas di sana ogah-ogahan melayani kamu karena kamu masih muda, dan tidak mau memberi layanan, informasi atau obat tertentu (yang sebenarnya kamu butuhkan) hanya karena kamu muda.
Sayangnya, belum semua klinik di Indonesia sudah ramah remaja. Kalau kamu ingin klinik yang oke, buka-buka saja di Direktori Layanan kami.
5. Karena Kita Mudah Menganggap Sesuatu yang Salah itu Lumrah
Ada laki-laki melakukan kekerasan dalam pacaran pada pasangannya. Pasangannya tidak boleh nongkrong dengan teman-temannya, harus lapor setiap 1 x 24 jam kayak sama satpam kompleks, dan dibentak-bentak kalau tidak menurut. Kita menganggapnya lumrah, karena “cemburu itu tanda sayang” dan “laki-laki memang seharusnya mengatur perempuan”.
Ada orang yang kabur dari pasangannya karena pasangannya melakukan kekerasan. Entah kekerasan dalam pacaran atau kekerasan dalam rumah tangga. Kita bilang dia bikin malu keluarga karena kabur dari suaminya.
Ada orang yang diperkosa. Pelakunya sudah ditangkap, kasusnya sudah jelas, korban sudah melapor ke polisi. Diam-diam kita berbisik ke satu sama lain, “Pantas saja dia diperkosa kan hobinya pakai baju yang minim-minim.” Padahal orang yang mengenakan hijab pun ada yang diperkosa.
Jika kita menolerir hal-hal dalam keseharian kita yang terkesan kecil, namun sebenarnya sangat salah, sebenarnya kita sedang menciptakan lingkaran setan yang luar biasa.