SobatASK,
Pernahkah kamu bertanya, kenapa ya seseorang bisa menjadi pembully?
Fenomena ini ternyata lebih kompleks dari sekadar tindakan iseng atau keinginan untuk mendominasi. Yuk, kita bahas faktor-faktor yang bisa mendorong seseorang menjadi pelaku bullying.
Pola Asuh
Pola asuh berdampak besar pada bagaimana anak berperilaku di luar rumah. Ketika anak tidak diajarkan cara mengontrol emosi dan memahami bahaya dari perilaku bullying, mereka cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang peduli dengan keadaan orang lain. Anak-anak seperti ini mungkin lebih fokus pada kepentingan diri sendiri, tanpa memikirkan dampak dari tindakan mereka terhadap orang lain.
Lebih parahnya lagi, jika di rumah anak sering menerima kekerasan fisik sebagai bentuk hukuman, mereka bisa saja meniru tindakan tersebut saat berada di luar rumah. Misalnya, anak yang dipukul, mungkin akan melihat kekerasan sebagai cara yang “wajar” untuk menyelesaikan masalah atau menunjukkan kekuasaan. Akhirnya, perilaku ini terbawa saat mereka berinteraksi dengan teman-temannya, dan mereka menjadi pelaku bullying.
Pengalaman Dibully
Salah satu penyebab utama seseorang menjadi pembully adalah pengalaman masa lalu yang penuh dengan kekerasan atau intimidasi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan (baik itu rumah maupun sekolah) yang dipenuhi dengan kekerasan, baik fisik maupun verbal, cenderung meniru perilaku tersebut. Mereka mungkin pernah menjadi korban bullying, sehingga mereka menyalurkan rasa frustasi dan sakit hati dengan menjadi pelaku bullying terhadap orang lain.
Tradisi
Di sekolah atau kampus, sering kali kita melihat bullying terjadi dalam bentuk tradisi atau ritual yang dianggap “lucu” atau “wajar”. Contoh klasiknya adalah masa orientasi siswa baru, di mana anak-anak yang lebih senior merasa perlu “menguji” atau “mengerjai” adik kelasnya. Meski dianggap sebagai bagian dari tradisi, tindakan ini sebenarnya adalah bentuk bullying yang bisa berdampak buruk pada korban.
Tradisi semacam ini sering kali diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa disadari bahwa itu adalah bentuk kekerasan yang dapat merusak mental dan emosi seseorang. Di sinilah bullying sebagai budaya kolektif muncul, di mana sekelompok orang mendukung dan menganggap perilaku tersebut sebagai sesuatu yang normal. Padahal, perilaku ini bukan hanya merugikan korban tetapi juga merusak citra baik lembaga pendidikan itu sendiri.
Fenomena ini memperlihatkan betapa pentingnya kita untuk tidak hanya berhenti pada permukaan, tetapi juga berani mempertanyakan dan menghentikan tradisi yang merugikan. Membangun budaya yang lebih positif dan mendukung, terutama dalam lingkungan pendidikan, bisa membantu menghentikan rantai bullying yang sering kali dianggap remeh.
Merasa Berhak Semena-mena
Ada lho, anak-anak yang jadi pembully karena merasa punya hak untuk semena-mena. Kenapa bisa begitu? Biasanya, ini terjadi karena di rumah mereka terbiasa dituruti semua keinginannya. Orang Tua yang permisif, yang selalu menuruti tanpa memberikan aturan jelas, bisa tanpa sadar membuat anak-anak mereka berpikir bahwa mereka bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi. Akhirnya, mereka jadi merasa berhak memaksakan kehendaknya, bahkan dengan cara yang kasar sekalipun.
Tanpa batasan yang jelas dari orangtua, anak-anak ini mungkin nggak paham kalau tindakan mereka itu salah. Mereka butuh bimbingan dan pengawasan yang memadai supaya bisa belajar untuk lebih menghargai orang lain dan memahami dampak dari setiap tindakan mereka.
Meniru Teman dan Media Tontonan
Pengaruh teman sebaya dan media sosial di era teknologi ini sangat besar, SobatASK. Anak-anak sering kali meniru apa yang mereka lihat di sekitarnya. Misalnya, ketika mereka melihat teman di sekolah yang bertindak semena-mena dan mendapatkan kekuasaan dari perbuatan itu, mereka bisa jadi merasa kalau tindakan bullying itu adalah cara untuk mendapat pengakuan.
Nggak hanya dari teman, pengaruh ini juga bisa datang dari media tontonan. Sering kali, adegan kekerasan atau bullying di film, serial, atau konten media sosial ditampilkan tanpa menunjukkan dampak negatifnya. Anak-anak yang melihat ini bisa salah mengartikan bahwa tindakan tersebut normal atau bahkan keren untuk dilakukan.
SobatASK, setelah kita memahami berbagai faktor yang dapat mendorong seseorang menjadi pembully, kita bisa melihat bahwa perilaku ini sering kali berakar pada pengalaman hidup dan lingkungan yang membentuk individu tersebut. Karena itu, yuk kita buat lingkungan yang lebih positif dan mendukung, baik di rumah, sekolah, maupun dalam masyarakat agar memutus siklus kekerasan. Jangan sampai perundungan menjadi sesuatu yang ‘biasa’ atau normal di lingkungan terdekat kita, yah!