Lalu Wirtabe: Kepala Adat yang Menolak Praktik Perkawinan Anak

Bagikan Artikel ini

Di kaki perbukitan Desa Pengengat, Lombok Tengah, angin membawa suara dari seorang tokoh yang tak hanya menjaga warisan adat, tetapi juga menata ulang nilainya demi masa depan anak-anak desanya. Ia adalah Lalu Wirtabe, Ketua Lembaga Adat Desa Pengengat, seorang pemimpin adat yang tak tinggal diam ketika melihat anak-anak putus sekolah dan menikah di usia belia.

Lalu1 - Gemilang Sehat

“Saya itu kalau lihat anak kecil putus sekolah, hati saya miris sekali,” ujar Pak Lalu dengan suara berat namun penuh kepedulian. Di usia senjanya, ia bukan hanya pengayom adat, tetapi juga pelindung generasi muda dari norma-norma berbahaya yang dulu dianggap ‘lumrah’.

Adat yang Dipahami Ulang

Sebagai tokoh adat, Pak Lalu tidak membantah keberadaan tradisi Merarik (kawin lari) dalam budaya Sasak. Namun ia menegaskan bahwa banyak yang salah kaprah dalam memaknainya.

“Dulu Merarik itu bukan ‘nyuri’ betulan. Malam dibawa, pagi ada utusan datang melamar. Tapi sekarang, malah jadi alasan pembenaran nikah muda. Itu bukan esensi adatnya,” jelas Pak Lalu.

Ia mengajak para tokoh adat untuk membaca ulang adat, melihat kembali esensi dan nilai-nilai moral di baliknya. Bersama rekan-rekannya, ia menggagas 5 rekomendasi adat untuk mencegah praktik merarik salah tandah (salah tingkah), salah waya (salah waktu), dan merarik dini.

Dengan lantang, ia berkata, “Hukum adat itu bukan sekadar tradisi, tapi pelindung masyarakat. Kalau dijalankan dengan benar, bisa cegah perceraian, kekerasan, dan pernikahan anak.”

Adat sebagai Benteng Sosial

Pak Lalu menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari dalam. Ia menggelar sosialisasi di forum Yasinan, mendatangi dusun demi dusun, tanpa menunggu pendanaan atau undangan resmi.

“Hukum adat itu paling berat, karena yang menghukum itu masyarakat sendiri. Malu. Itu yang bikin jera,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa banyak anak menikah muda karena dampak dari perceraian orang tua, pengasuhan yang longgar, dan kemiskinan. Maka ia menaruh fokus pada edukasi, pengasuhan ketat, dan penguatan keluarga.

“Saya selalu bilang ke orang tua, kalau anak belum pulang jam 11 malam, jangan diam. Cari! Jangan sampai dibiarkan,” katanya tegas.

Pak Lalu bahkan menjadikan rumahnya sebagai tempat konsultasi informal. Ia tak segan menasihati keluarga muda yang berselisih, agar perceraian tidak merampas masa depan anak mereka.

Dukungan Power to Youth (PtY) dan YGSI

Perubahan ini tidak datang sendiri. Melalui program Power to Youth (PtY) yang diimplementasikan oleh Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI), Pak Lalu bersama tokoh adat dari empat desa di Lombok mengikuti serangkaian pertemuan, diskusi, dan pelatihan.

“Dari situ kami sadar, banyak pakem adat yang dulunya baik, tapi disalahartikan. Kami sepakat, harus ada yang berubah. Dan perubahan itu harus dimulai dari kami, para tokoh adat,” ucapnya.

Salah satu hasilnya adalah mengangkat kembali adat Belako, sebuah tradisi lamaran yang mengedepankan restu keluarga dan kesiapan pasangan, dibanding praktik kawin lari yang seringkali mengagetkan pihak keluarga perempuan.

YGSI dan PtY memberi ruang bagi suara tokoh adat untuk diperdengarkan lintas desa, lintas generasi. Pak Lalu tidak hanya jadi simbol perubahan, tetapi juga agen yang menyebarkan nilai baru.

“Anak Kita Semua”

Bagi Pak Lalu, anak-anak di desanya adalah tanggung jawab kolektif. “Itu bukan cuma anak saya. Itu anak kita semua,” ujarnya berulang-ulang, seolah menjadi mantra perjuangannya.

Anak perempuannya sendiri kini sudah berusia 26 tahun, belum menikah, dan tengah meniti karir. Ia ingin semua anak desa Pengengat punya kesempatan yang sama, untuk bersekolah, berkarir, dan bermimpi tinggi.

“Kalau kita tidak isi anak-anak itu dengan tinta kebaikan, mereka tetap kosong. Kita yang harus mulai menulisnya,” ucapnya dengan tatapan tajam.

Tokoh Adat Sebagai Aktor Perubahan

Di tengah pusaran budaya dan perubahan zaman, Pak Lalu membuktikan bahwa tokoh adat bukan penjaga masa lalu semata, tetapi penentu masa depan. Dengan suaranya yang tenang namun berpengaruh, ia menjadi jembatan antara tradisi dan transformasi.

Perjalanan ini belum selesai. Tapi dengan langkah-langkah kecil yang konsisten, Desa Pengengat sedang menulis ulang narasi tentang adat, anak-anak, dan masa depan. (*)

Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.