Ketika Pak Alpin pertama kali menjabat sebagai Kepala Desa Tugu di Langkat, ia memiliki visi yang jelas: membangun desa secara fisik, meningkatkan infrastruktur, dan memastikan kehidupan warganya lebih nyaman. Sebelum menjadi kepala desa, ia adalah seorang pengusaha yang sukses, dengan usaha yang membuatnya cukup mapan secara finansial. Namun, ketika ia kembali ke kampung halaman dan terpilih sebagai kepala desa, ia menyadari bahwa tugasnya bukan sekadar mengurus pembangunan jalan atau fasilitas umum.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai melihat persoalan yang lebih mendalam, dimana generasi muda desanya yang menghadapi tantangan besar. Kurangnya edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR), tingginya angka pernikahan dini di masa lalu, serta minimnya kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi remaja membuatnya berpikir ulang tentang prioritasnya sebagai pemimpin.
“Saya dulu pikir, kalau kepala desa itu cuma urusan infrastruktur dan administrasi. Ternyata, membangun manusia itu jauh lebih sulit dan lebih penting,” kata Pak Alpin.
Ia mulai bertanya: “Jika saya tidak bertindak sekarang, siapa yang akan menyelamatkan generasi muda desa ini?”
Bertemu dengan CIKAL – Titik Balik Kesadaran
Jawaban atas pertanyaannya datang ketika ia bertemu dengan komunitas remaja CIKAL, yang berfokus pada edukasi HKSR dan pemberdayaan anak muda. Awalnya, Pak Alpin merasa skeptis. Ia berpikir, mengapa anak-anak muda harus belajar tentang topik yang selama ini dianggap tabu?
Namun, setelah mendengarkan pemaparan dari perwakilan ASB dan CIKAL, ia mulai melihat perspektif baru. Ia menyadari bahwa remaja membutuhkan pemahaman yang benar tentang tubuh mereka, hak-hak mereka, dan bagaimana membuat keputusan yang bertanggung jawab dalam kehidupan sosial mereka.
Pak Alpin teringat pengalamannya saat masih menjadi pengusaha di bidang marketing. Ia pernah mempekerjakan banyak anak muda dan melihat langsung bagaimana mereka mudah terpengaruh lingkungan jika tidak mendapatkan bimbingan yang tepat. Saat itu, ia hanya bisa mengawasi. Tapi sekarang, sebagai kepala desa, ia sadar bahwa sekadar mengawasi tidak cukup. Ia harus bergerak lebih jauh, ia harus mengedukasi.
Dari Kepala Desa ke Penggerak Perubahan
Pak Alpin tidak ingin hanya menjadi pendukung pasif. Ia mengambil langkah konkret dengan mengintegrasikan edukasi HKSR ke dalam kebijakan desa.
- Dukungan Kebijakan dan Legalitas
- Ia mengeluarkan SK Desa untuk komunitas Cikal, memberi mereka legitimasi untuk bergerak lebih luas.
- Ia mendukung pembentukan layanan berbasis komunitas (LBK) untuk menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan.
- Alokasi Dana Desa
- Ia mengalokasikan sebagian dana desa untuk mendukung program edukasi remaja, termasuk pelatihan dan diskusi berseri.
- Ia memastikan ada anggaran khusus untuk kegiatan remaja, sehingga mereka tetap bisa berkegiatan bahkan setelah program ASB berakhir.
- Kolaborasi dengan Tokoh Masyarakat dan Pemerintah
- Ia bekerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memastikan bahwa program ini diterima luas.
- Ia juga menggandeng dinas terkait untuk memperkuat keberlanjutan program ini.
Pak Alpin menyadari bahwa berbicara tentang HKSR di desa yang masih kental budaya patriarki bukanlah hal mudah. Namun, ia percaya bahwa dengan pendekatan yang tepat, masyarakat akan mulai menerima bahwa pendidikan HKSR bukan sesuatu yang tabu, melainkan sebuah kebutuhan.
“Dulu, kalau ada anak perempuan terlihat dekat dengan laki-laki, orang tua buru-buru menikahkan mereka karena takut malu. Sekarang, dengan pemahaman yang lebih baik, kita tahu bahwa menikah bukan solusi untuk semua masalah,” ujarnya dalam salah satu pertemuan desa.
Mengubah Budaya, Mengubah Pola Pikir
Pak Alpin juga menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari cara komunikasi dengan masyarakat. Ia memanfaatkan diskusi kolektif sebagai ruang bagi remaja untuk belajar dan berbagi pengalaman. Alih-alih dilarang membahas topik HKSR, mereka kini memiliki ruang aman untuk mendapatkan informasi yang benar.
Selain itu, ia juga mendorong keterlibatan remaja dalam pengambilan keputusan di desa. Ia mulai melibatkan mereka dalam musyawarah desa, memberikan mereka suara untuk menentukan kebijakan yang menyangkut masa depan mereka sendiri.
Pak Alpin percaya bahwa perubahan pola pikir harus dimulai dari rumah. Ia sering kali berbicara dengan orang tua di desa tentang pentingnya keterbukaan dalam mendidik anak-anak mereka. Ia juga menggandeng sekolah dan guru untuk memastikan bahwa edukasi HKSR menjadi bagian dari sistem pembelajaran informal di desa.
Warisan Perubahan untuk Generasi Selanjutnya
Kini, setelah beberapa tahun menjabat, Pak Alpin melihat perubahan nyata di desanya. Remaja semakin sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan sosial, sementara para orang tua mulai lebih terbuka dalam membahas isu-isu yang sebelumnya dianggap tabu. Kesadaran yang meningkat ini turut berkontribusi pada menurunnya angka pernikahan dini, karena masyarakat semakin memahami risikonya.
Di sisi lain, komunitas CIKAL terus berkembang, dengan semakin banyak remaja yang aktif dalam edukasi sebaya, membantu teman-teman mereka mendapatkan informasi yang benar. Selain itu, Layanan Berbasis Komunitas (LBK) kini lebih aktif dalam menangani kasus-kasus kekerasan, memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak yang membutuhkan bantuan. Perubahan ini menjadi bukti bahwa dengan dukungan dan edukasi yang tepat, masyarakat dapat bergerak menuju masa depan yang lebih baik.
Pak Alpin tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Ia ingin memastikan bahwa setelah masa jabatannya berakhir, program-program yang telah ia mulai tetap berjalan.
Ketika ditanya apakah ia pernah membayangkan dirinya akan menjadi pejuang HKSR di desanya, Pak Alpin tertawa kecil.
“Dulu saya pikir kepala desa itu hanya soal tanda tangan dokumen dan membangun jalan. Ternyata, membangun manusia itu jauh lebih penting. Kalau kita tidak peduli pada anak muda hari ini, kita sedang menghancurkan desa kita di masa depan.”
Bagi Pak Alpin, HKSR bukan sekadar isu kesehatan, tetapi kunci untuk membangun generasi yang lebih sadar, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi masa depan.
Perubahan besar yang terjadi di Desa Tugu tak lepas dari peran Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) melalui dukungan program Right Here Right Now2 (RHRN2). Melalui kerja kolaboratif dengan mitra seperti ASB dan komunitas CIKAL, YGSI menghadirkan pendekatan transformatif dalam pendidikan HKSR dan pemberdayaan anak muda.
Dukungan teknis, pendampingan, serta advokasi kebijakan dari YGSI bersama ASB telah memperkuat posisi pemimpin lokal seperti Pak Alpin untuk menjadi agen perubahan di komunitasnya. Dengan mendorong integrasi HKSR dalam kebijakan desa dan memastikan partisipasi bermakna kaum muda, YGSI turut menanamkan fondasi perubahan yang berkelanjutan, tidak hanya bagi Desa Tugu, tetapi juga bagi masa depan generasi muda Indonesia. (*)







