Syarifah tumbuh di lingkungan pesantren yang tenang dan religius di Indramayu. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dalam aturan-aturan ketat yang seringkali dianggap suci dan tak boleh diganggu gugat. Dunia di sekelilingnya seolah aman. Tapi di balik dinding-dinding kayu pesantren dan kitab-kitab kuning, realitas berbicara lain.
“Aku tadinya pikir mondok itu tempat yang aman. Tapi ternyata banyak banget kasus-kasus yang muncul, dan itu kayak dianggap biasa aja,” ujarnya pelan, namun tegas. Kekerasan berbasis gender dan seksualitas bukan hal asing, tapi seringkali dibiarkan. Tafsir agama kadang jadi tameng pembenaran, bukan alat pembebasan. Ia tidak tinggal diam.
Syarifah dikenal sebagai salah satu Ulama Perempuan Muda yang cukup progresif di wilayahnya. Ia menggabungkan pemahaman mendalam terhadap teks-teks keagamaan dengan kepekaan sosial yang kuat, terutama dalam isu-isu perempuan dan keadilan gender. Keberaniannya menafsir ulang ajaran tanpa kehilangan akar tradisi menjadikannya jembatan penting antara dunia santri dan gerakan sosial.
Memulai dari Percakapan, Membangun dari Keberanian
Perubahan bermula dari ruang-ruang diskusi kecil setelah kegiatan komunitas. Di sinilah Syarifah menemukan ruang untuk menyuarakan keresahan yang selama ini ditahan. Dalam kegiatan di Rahimah, ia dan kawan-kawan mulai menyusun Rencana Tindak Lanjut dan salah satunya adalah gagasan menyusun SOP Pencegahan Kekerasan di Pesantren.
Ia menggandeng Pak Uli, seorang dosen yang akrab dengan lingkungan pesantren, dan menjembatani dialog antara pemuda dan para kyai. Tidak mudah. “Tantangannya? Ya, karena kekerasan sering dianggap wajar, atau bahkan disakralkan lewat tafsir-tafsir agama yang keliru,” jelas Syarifah. Tapi ia tahu, “agama tidak untuk melegitimasi kekerasan.”
Ia memilih jalan yang lebih rumit: menafsir ulang teks agama dengan pendekatan kesalingan, kasih sayang, dan keadilan. Ia tahu, pendekatan hukum positif seperti Undang-Undang TPKS memang penting, tapi di pesantren, pendekatan dari kitab dan dalil adalah kunci. “Kalau di kampus kita bisa bilang ‘ini undang-undangnya’, tapi kalau di pesantren, kita harus mulai dari dalil dan hadis.”
Menggugah Komunitas, Menghidupkan Gerakan
Kuncinya bukan hanya pada dokumen SOP itu sendiri, tapi pada keberanian memulai percakapan yang selama ini dihindari. Syarifah tidak menganggap dirinya pahlawan. Justru, ia menyebut peran komunitas sangat besar. “Gayung bersambut. Ternyata keresahan itu sudah ada, tapi belum ada yang mulai aja,” katanya.
Beberapa guru pesantren adalah teman masa kuliah para pendamping komunitas. Ada keterhubungan emosional dan spiritual. Saat Syarifah datang membawa gagasan SOP, mereka tidak menolak, justru merasa dijembatani. “Sebenarnya, mereka juga resah. Tapi belum tahu harus mulai dari mana,” ungkapnya.
Penyusunan SOP ini tidak hanya menjadi tonggak formal, tapi juga simbol perubahan budaya. Kini, kekerasan tidak lagi dianggap biasa. Ada mekanisme pencegahan, pelaporan, dan pendampingan. Bahkan monitoring pun dimasukkan dalam SOP. “Kalau nggak ada kontrol, ya udah aja nantinya. Nggak bisa berkembang,” ujarnya.
Tidak Bisa Disalin Begitu Saja
Meskipun berhasil, Syarifah menegaskan bahwa model ini tidak bisa diterapkan secara mentah di pesantren lain. “Bahkan Indramayu bagian sini dan bagian lain aja beda,” katanya sambil tertawa kecil. Setiap lingkungan punya kekhasan, setiap komunitas punya tafsir dan struktur yang berbeda.
Namun semangatnya bisa ditiru: mulai dari ruang kecil, dari keberanian satu orang untuk membuka percakapan. Dari keterlibatan komunitas, bukan pemaksaan dari luar. “Yang penting itu keberlanjutan dan monitoring. Bukan hanya bikin SOP lalu selesai.”
Perubahan yang Terjadi, Bukan Mimpi
Cerita Syarifah bukan sekadar kisah pribadi. Ini adalah potret perubahan kultural di pesantren Babakan, Indramayu, yang selama ini dikenal sebagai kawasan tradisional dan konservatif. Proses penyusunan SOP Pencegahan Kekerasan di lingkungan ini bukan hanya mengubah cara orang melihat isu gender dan seksualitas, tapi juga membuka jalan bagi pendekatan tafsir agama yang lebih adil dan ramah terhadap perempuan dan anak.
Perubahan ini dimungkinkan berkat dukungan Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) melalui program Generation Gender (Gen G), yang tak hanya memberikan ruang dan pelatihan, tetapi juga memastikan adanya ekosistem pendukung yang saling menguatkan. (*)









