Aku bukan sekadar botol plastik bekas. Namaku sekarang Wayang Botol, dan aku kini jadi suara perubahan.
Aku lahir dari tangan-tangan anak desa di Lombok Tengah—anak-anak yang dulu nyaris tak terdengar, kini menjadi pelopor gerakan pencegahan perkawinan anak melalui seni dan budaya.
Semuanya dimulai pada 2022, ketika suara anak desa mulai dikumpulkan melalui Forum Anak Desa (FAD) dan PATBM. Mereka muda, penuh semangat, dan lelah melihat teman sebaya mereka menikah terlalu dini. Mereka tak punya panggung, jadi mereka menciptakannya— bersama aku.
Aku terbuat dari botol plastik bekas, sedotan, dan kardus—sampah yang sering dibuang, kini menjelma menjadi alat edukasi. “Wayang Botol bukan cuma alat kampanye,” kata Syafrudin, District Coordinator YGSI Lombok untuk program Power to You(th). Dia biasa dipanggil Bang Ote. “Ia juga simbol respons terhadap perubahan iklim—sampah yang berubah jadi seni.”
Kami tampil dari dusun ke dusun, dari sekolah ke balai desa. “Sudah 40 kali lebih kami pentas,” lanjut Bang Ote. “Dan tiap kali kami pentas, masyarakat antusias, tertawa, menangis, dan pulang dengan pikiran baru.”
Kami membawa cerita-cerita tentang kekerasan, kehamilan remaja, dan mimpi yang tertunda karena perkawinan anak.
Mereka yang Membuat Botol Bicara
Anak-anak seperti Miza (17) dan Elma (16) adalah sutradara dan pemain utamaku. Mereka menyusun naskah, mencari botol, dan merakitku malam-malam di bawah lampu remang. “Dulu saya sempat berpikir setelah lulus SMP ya menikah,” kata Miza. “Tapi setelah gabung FAD, saya tahu ada hidup lain yang bisa saya perjuangkan.”
Elma menambahkan, “Saya bangga pernah tampil di Musrenbang Kabupaten, duduk satu ruangan dengan Bupati. Anak-anak seperti kami bisa bicara.”
Pemerintah desa mendukung. Bahkan mereka menganggarkan dana untuk FAD dari dana desa. “Ini luar biasa,” ujar Pak Zainuddin, Kepala Desa Tumpak. “Anak-anak tidak hanya bicara, mereka bekerja. Dan kami mendengar.” Melalui regulasi seperti Perbup 115/2021 dan Perdes Perlindungan Anak, desa memberi ruang dan legitimasi.
Tokoh agama seperti Pak Zudin, guru dan pendakwah setempat, juga ikut bersuara. “Dulu saya sendirian. Tapi sekarang ada tameng: ada FAD, ada Perdes, dan saya tidak sendiri lagi,” katanya. Ia menyebarkan pesan lewat khutbah Jumat, mendukung penundaan pernikahan dini dan pentingnya pendidikan.

Dari Pentas ke Perubahan
Kami bukan sekadar pertunjukan. Di sekolah-sekolah intervensi, tidak ada lagi kasus penyebaran foto asusila atau perkawinan anak sejak 2022. “Dulu sempat ada kasus-kasus seperti itu di SMP dan MTS. Tapi sejak intervensi, zero case,” kata Bang Ote.
Yang paling menyentuh hatiku? Ketika Miza berkata, “Dulu orang tua saya khawatir kalau saya pulang malam. Tapi sekarang, mereka tahu saya pulang dari latihan wayang botol. Dan mereka bangga.” Atau ketika Pak Zudin berkata di depan jemaahnya, “Kalau anak-anak ingin menikah, kita harus dampingi mereka untuk memilih pendidikan, bukan pernikahan dini.”
Melawan Arus Tradisi
Tak semua mudah. Masih ada budaya pembelasan—anak gadis “dilarikan” lalu dinikahkan. Tapi sekarang, setiap ada kabar perkawinan mendadak, FAD bergerak cepat, koordinasi di grup WhatsApp, lapor ke desa, ke tokoh, ke orang tua. Kami belum bisa mengubah semuanya, tapi kami mulai dari sini.
Kami—anak-anak, guru, tokoh agama, dan aku, si wayang botol—telah menjadi saksi perubahan. Desa yang dulu sunyi kini punya suara. Suara itu adalah aku. Botol kosong yang kini penuh makna.
“Wayang botol ini bukan hanya edukasi, tapi simbol bahwa perubahan bisa datang dari tangan anak-anak, dengan pendekatan budaya yang menyentuh hati.” tutup Bang Ote. (*)







