Qomarun tidak pernah membayangkan dirinya akan terlibat dalam isu-isu yang dianggap tabu oleh masyarakatnya. Sebagai mahasiswa Ekonomi Pembangunan di Universitas Pembangunan Pancabudi, ia lebih dikenal sebagai seorang freelance MC, sering membawakan acara pernikahan atau event-event besar. Hidupnya berjalan seperti biasa, hingga suatu hari, kepala lingkungan di desanya menghubunginya untuk ikut serta dalam sebuah diskusi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) yang diadakan oleh Aliansi Sumatera Bersatu (ASB) melalui program Right Here Right Now 2 (RHRN2).
Qomar sempat ragu. Baginya, membicarakan HKSR adalah sesuatu yang jarang terjadi di lingkungannya, bahkan dianggap tabu. “Apa manfaatnya? Apa yang akan dipikirkan orang-orang?” pikirnya. Namun, rasa ingin tahunya mendorongnya untuk tetap datang.
Saat pertama kali mengikuti diskusi, ia merasa canggung. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami bahwa HKSR bukan sekadar membahas alat reproduksi atau hal-hal yang dianggap “sensitif.” Isu ini jauh lebih luas, tentang hak remaja, perlindungan diri, dan kesadaran akan bahaya seperti kekerasan berbasis gender, eksploitasi seksual, hingga perkawinan anak. Di sinilah kesadarannya mulai berubah.
Mencari Makna di Balik Angka
Saat terlibat dalam diskusi CIKAL, sebuah komunitas remaja yang terbentuk dari program ASB, Qomar mulai melihat realitas yang selama ini tersembunyi di balik desanya.
Kabupaten Langkat, tempat tinggalnya, ternyata merupakan salah satu kabupaten dengan tingkat kasus kekerasan seksual tertinggi di Sumatera Utara. Hampir setiap hari ada berita tentang pencabulan, kekerasan berbasis gender online (KBGO), perkawinan anak, atau remaja yang hamil di luar nikah. Bahkan di lingkungan tempat tinggalnya sendiri, ia pernah melihat secara langsung bagaimana teman-teman sebaya terjebak dalam situasi yang sulit akibat kurangnya edukasi dan perlindungan. Dari sinilah Qomar sadar: isu HKSR bukan hanya sekadar teori. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi dan diperbaiki.
Dari Peserta Menjadi Penggerak
Setelah beberapa bulan aktif di CIKAL, Qomar tidak lagi sekadar peserta. Ia kini menjadi koordinator advokasi dan Duta Putra CIKAL, perannya semakin besar dalam menyebarluaskan informasi tentang HKSR kepada sesama remaja.
Tugasnya tidak mudah. Ia harus menghadapi stigma, anggapan miring, dan tantangan dari masyarakat yang masih menganggap pembahasan HKSR sebagai hal yang tabu. Namun, ia tidak menyerah.
Sebagai bagian dari tim advokasi, ia bahkan ikut serta dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Kabupaten Langkat. Dari hanya sekadar hadir dalam diskusi, ia kini menjadi perwakilan anak muda dalam perumusan kebijakan yang akan berdampak luas bagi generasi berikutnya.
“Awalnya, aku cuma datang karena diminta kepala lingkungan. Sekarang, aku justru merasa punya tanggung jawab untuk memastikan teman-temanku mendapatkan perlindungan yang layak,” ujarnya.
Perubahan dalam Diri dan Keluarga
Perjalanan bersama CIKAL tidak hanya mengubah cara pandangnya terhadap dunia luar, tetapi juga terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.
Dulu, di rumahnya, pembagian tugas rumah tangga masih berdasarkan stereotip gender, pekerjaan rumah adalah tanggung jawab perempuan. Namun, setelah mendalami HKSR, Qomar mulai memahami bahwa kesetaraan dimulai dari rumah.
Sekarang, ia tidak ragu membantu pekerjaan rumah. Ia juga lebih memahami pentingnya batasan dalam keluarga, seperti kesadaran bahwa saudara laki-laki dan perempuan tidak seharusnya tidur sekamar, dan bahwa setiap individu harus memiliki ruang dan hak yang sama dalam keluarga.
Yang lebih mengejutkan, keluarganya yang awalnya ragu dengan kegiatannya, kini justru mendukungnya sepenuhnya. Mereka mulai melihat bahwa apa yang ia lakukan bukanlah hal yang negatif, melainkan sesuatu yang penting bagi masa depan remaja di desanya.
Menjadi Suara bagi Remaja Lainnya
Kini, Qomar tidak hanya berfokus pada edukasi di desanya. Ia juga aktif dalam berbagai forum dan pertemuan nasional. Salah satu momen yang paling berkesan baginya adalah ketika ia menghadiri pertemuan nasional di Bogor dan Jakarta, di mana ia bisa berbagi pengalaman dengan anak muda dari berbagai daerah di Indonesia.
Ia juga terlibat dalam berbagai kampanye kreatif, termasuk Festival Anak Remaja, di mana seni dan kreativitas digabungkan dengan edukasi HKSR. Di festival ini, anak muda bisa menunjukkan bakat mereka dalam musik dan tari, dengan lirik dan gerakan yang mengandung pesan edukasi tentang HKSR.
Selain itu, ia juga membantu mendirikan stand edukasi di perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Langkat, yang tidak hanya menampilkan produk UMKM, tetapi juga berisi informasi dan diskusi kecil tentang kesehatan seksual dan reproduksi.
Warisan Perubahan untuk Generasi Selanjutnya
Meskipun perjalanan CIKAL masih panjang, Qomar yakin bahwa perubahan sudah mulai terlihat. Remaja di desanya kini lebih berani membicarakan hak mereka dan lebih sadar akan pentingnya edukasi HKSR, selain itu, pemerintah juga mulai melibatkan anak muda dalam perumusan kebijakan, seperti dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dan masyarakat sudah lebih terbuka dalam menerima diskusi HKSR, meskipun masih ada tantangan yang harus dihadapi.
Namun, satu kekhawatiran masih ada di benaknya, program ASB dan pendanaan dari RHRN2 hanya berjalan hingga 2025. “Kami mulai berpikir, bagaimana jika program ini berakhir? Bagaimana kami bisa tetap bergerak?” katanya.
Untuk mengantisipasi ini, Qomar dan tim CIKAL mulai membangun jaringan dengan organisasi lain di luar Langkat, termasuk Generasi Anti Kekerasan (GAK), dengan harapan bisa memperkuat advokasi dan mencari dukungan pendanaan dari berbagai sumber baru.
Bagi Qomar, perjalanan ini bukan sekadar tentang dirinya sendiri. Ini adalah tentang memastikan bahwa generasi setelahnya tidak lagi menghadapi ketidaktahuan dan ketidakadilan yang sama.
“Dulu aku pikir membicarakan HKSR itu tabu. Sekarang, aku tahu bahwa diam adalah kesalahan terbesar. Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?” (*)







