Numpang tanya dong: kamu pernah dengar istilah rape culture, belum?
Kalau diterjemahin, rape culture artinya ‘budaya pemerkosaan’. Serem banget, kan? Maksudnya begini, mungkin kita tidak mendukung, apalagi melakukan pemerkosaan. Tapi, bisa jadi kita adalah bagian dari budaya pemerkosaan atau budaya yang secara sadar atau enggak sadar menoleransi dan mendukung kekerasan seksual.
Masih enggak ngerti? Nih, beberapa hal penting yang harus kamu tahu soal rape culture.
1. Semua orang bisa jadi pemerkosa
Kamu mungkin merasa kalau pemerkosaan cuma bisa dilakukan oleh orang jahat yang enggak kamu kenal. Entah kamu diperkosa di transportasi umum, waktu kamu lagi jalan malem-malem, dan sebagainya. Dan ini memang terjadi.
Tapi, kamu tahu enggak kalau banyak kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual justru dilakukan oleh orang yang terdekat? Banyak banget kasus di mana seseorang memperkosa pacarnya, saudaranya, bahkan istri atau suaminya.
2. Kita suka ambigu soal consent
Mungkin, kamu udah baca-baca serial artikelnya SobatASK soal apa itu konsen atau persetujuan dalam hubungan seksual. Singkatnya gini, kamu dan pasanganmu harus sama-sama menyetujui dan mau melakukan tindakan seksual apapun yang akan kalian lakukan – mulai dari sekadar pegangan tangan sampai hubungan seksual. Peraturan ini berlaku buat siapa aja, mulai dari orang pacaran sampai suami istri.
Nah, ini yang sering dilupain sama orang kalau sudah ngomongin pemerkosaan. “Tapi kan suka sama suka?”, “Tapi kan dia pakai baju minim!”, “Yah, namanya juga laki-laki, pasti suka macem-macem.” Banyak banget alasan yang ngelupain bahwa consent itu perlu dan penting.
Kamu WAJIB memastikan bahwa siapapun yang kamu godain, deketin, ajak macem-macem, dan pepet enggak keberatan dengan tindakanmu. Jangan sampai ambigu!
3. Korban hampir selalu disalahkan
Kalau terjadi pemerkosaan, apa coba yang terjadi? Pasti ada yang ngomong, “Ya makanya perempuan harus jaga pakaiannya biar tidak menarik hawa nafsu laki-laki.” “Makanya, jangan pulang malem, gitu tuh kalau jadi perempuan nakal!”
Sebentar, sebentar. Kenapa kok malah korbannya yang disalahkan? Perkara seseorang mau nafsu atau enggak kan urusan dia, tapi enggak ada yang MENYURUH pelaku untuk memperkosa dia, kan? Kalau kita masih lebih sibuk menyalahkan korban daripada pelaku, artinya kita masih turut serta dalam rape culture.
4. Pelecehan di tempat umum
Kamu pernah digodain waktu lagi jalan kaki, kereta, atau bis? Pernah dipanggil-panggil sama mas-mas enggak jelas di pinggir jalan atau dilihatin sama orang?
Mungkin kamu bilang, “Ah, namanya juga cowok. Ngegodain doang nggak apa-apa kan? Yang penting enggak memperkosa beneran.” Eh, belum tentu. Pelecehan seksual di tempat umum ada macam-macam bentuknya, enggak cuma pemerkosaan. Kalau kamu menggoda seseorang di tempat umum (dan di tempat tertutup juga, sih), kamu bisa membuat dia merasa tidak nyaman dan takut. Dan kalau kamu menganggap itu lumrah, lagi-lagi kamu udah ikut jadi bagian dari rape culture.
5. Kamu yang harus jaga diri, bukan orang lain yang harus jaga sikap
Ada yang bilang bahwa korban pemerkosaan yang enggak menjaga pakaiannya itu sama dengan korban kemalingan yang enggak mengunci pintu rumahnya. Masalahnya: itu berarti korban, yang manusia, disama-samain dengan rumah yang notabene adalah benda.
Makanya, nyuruh orang “berpakaian lebih sopan/jaga diri/jaga sikap/dsb biar enggak diperkosa” itu percuma. Yang penting adalah ngajarin biar orang enggak memperkosa. Karena, pada akhirnya korban bukan benda yang bisa diambil kalau enggak dijagain. Dia manusia yang bisa ngerasa enggak enak dan enggak nyaman.
Cara pikir yang menyalahkan korban, bukan mempermasalahkan pelaku ini merupakan bagian penting dari rape culture. Dan sadar atau enggak sadar, semua orang bisa melakukan ini. Enggak cuma pemerkosa.
6. Kita diajarkan untuk menganggap lumrah pelecehan seksual
Ah, kan cuma lagu. Ah, kan cuma bercanda. Tapi, kalau ngomongin pelecehan seksual, enggak ada yang lumrah, loh. Belum tentu orang yang kamu ajak bicara ngerti kalau itu cuma bercanda, dan belum tentu juga orang yang ada di sekitar kalian nyaman dengan obrolan itu. Dan percaya deh, pelecehan seksual itu topik yang sensitif BANGET buat siapapun yang udah pernah jadi korban.
7. “Ah, namanya juga cowok.”
Secara enggak sadar, kita membiarkan rape culture hidup dengan menganggap bahwa perilaku yang sebenarnya bisa berujung pada pelecehan seksual itu normal-normal aja. Mulai dari kecil, kalau kamu perhatiin, anak laki-laki diajarin untuk lebih agresif dan “kuat” daripada anak perempuan. Kalau nangis atau menunjukkan tanda-tanda kelemahan, dia dibilang “cengeng kayak cewek.”
Sementara, perempuan diajarkan untuk jadi penurut, lemah lembut, dan diperlakukan seperti “hadiah” yang bisa dimenangkan oleh laki-laki yang paling jagoan. Pasti kamu pernah denger omongan, “Makanya kamu dandan yang cantik dong, biar cowok mau sama kamu. Makanya kamu jangan gendut gendut dong, kalau gembrot begini mana ada yang mau sama kamu?”.
8. Kita bikin korban merasa takut untuk melaporkan
Kalau ada yang melaporkan diri sebagai korban pemerkosaan, perhatikan deh, mereka bisa saja:
1. dituduh diperkosa karena pulang malam/pakai baju enggak sopan/berperilaku nakal (baca lagi poin nomor 5);
2. dituduh bohong; atau
3. takut karena pelakunya adalah orang yang mereka kenal.
Intinya, banyak hal yang membuat korban takut melaporkan kejadian atau takut untuk menolak. Seringkali, mereka takut mendapat sanksi sosial dari publik. “Pantes aja dia diperkosa, dia kan suka pulang malem dari kampus!” Omongan-omongan kayak gini bisa sangat menyakiti korban, dan membuat banyak korban lain takut untuk melapor.
9. Kita cuma menganggap bahwa pemerkosaan dilakukan oleh laki-laki ke perempuan
Oke, memang kebanyakan kasus pemerkosaan dilakukan oleh laki-laki ke perempuan. Tapi, kasus pemerkosaan laki-laki ke laki-laki lainnya, atau pemerkosaan perempuan kepada laki-laki juga terjadi.
Kembali ke poin pertama, semua orang bisa jadi pemerkosa dan semua orang bisa ikut serta dalam rape culture. Jenis kelamin dan gendernya enggak penting. Meskipun begitu, pemerkosaan secara historis dilakukan untuk menandakan kekuasaan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya di era peperangan. Perempuan yang secara status dianggap “properti” bagi suatu kelompok, diperkosa untuk melemahkan suatu kelompok tersebut. Maka,
Kalau kamu kenal seseorang yang jadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan, jangan khawatir karena #KamuTidakSendirian. Ada banyak banget konselor dan klinik yang bisa ngebantu kamu. Dijamin nyaman, ramah remaja, bisa diandalkan, dan enggak bikin kantong kering. Cek aja di Direktori Layanan kami.
Dan buat kamu yang belum puas baca-baca soal rape culture, baca aja tulisan keren dari Buzzfeed yang kami sadur di sini:
http://www.buzzfeed.com/ryanhatesthis/what-is-rape-culture#.ingRndBOd
Sumber foto:
http://christophercantwell.com/