Pandemi COVID-19 berdampak besar pada banyak aspek di kehidupan kita. Meskipun, semua orang di dunia ini terdampak dengan adanya COVID-19, ada kelompok masyarakat yang terdampak lebih besar dari kelompok lainnya. Dua tahun pandemi telah menunjukkan kepada kita bagaimana isu gender, kesehatan, kemiskinan, dan lainnya ternyata memiliki keterkaitan yang sangat kuat lho Sobat Remaja.
Di kondisi krisis saat ini, kemiskinan dan sistem kesehatan kita yang lemah banyak membuat remaja dan anak-anak terambil haknya. Tahukah Sobat Remaja bahwa selama pandemi COVID-19 telah terjadi peningkatan perkawinan anak di berbagai negara termasuk di Indonesia? Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) melaporkan adanya peningkatan angka perkawinan anak yang masih berusia di bawah 18 tahun selama pandemi COVID-19.
Di Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku contohnya. Seorang siswi SMP yang masih berusia lima belas tahun lebih sembilan hari dinikahkan oleh orang tuanya. Padahal NK (inisial dari anak tersebut) masih ingin bersekolah seperti teman-temannya.
Teman-teman NK—dengan menggunakan seragam sekolah—lantang bersuara menolak pernikahan tersebut. Di tengah pandemi COVID-19 pada 2021, sekelompok murid SMP bersama gurunya melakukan aksi demo sebagai bentuk solidaritas untuk menolak pernikahan anak.
Sobat Remaja, pernahkah melihat berita di atas baik melalui TV, koran, atau melalui portal berita online? Sobat Remaja, tahukah kamu bahwa perkawinan anak selain dapat membuat anak kehilangan hak-haknya seperti hak untuk belajar dan bermain, juga sangat berisiko terhadap kondisi fisik dan mental anak?
Banyak perempuan yang dinikahkan di usia anak padahal tubuhnya masih belum siap dan dapat mengalami berbagai risiko kesehatan, terlebih ketika dirinya harus mengandung dan melahirkan. Dikutip dari WebMD, kehamilan yang dialami oleh anak yang biasanya terjadi pada usia remaja di bawah 20 tahun atau berkisar saat usia 15-19 tahun memiliki berbagai risiko kesehatan. Bahkan, risiko itu tidak hanya dihadapi oleh si ibu tetapi juga bayi dalam kandungannya.
Perempuan yang mengalami kehamilan di usia terlalu muda berisiko melahirkan bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah, mengalami tekanan darah tinggi atau preeklamsia pada ibu hamil, depresi pasca persalinan, hingga kematian ibu dan bayi. Perkawinan anak, merenggut hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) yang dimiliki anak tersebut. Hal tersebut yang membuat banyak negara melarang perkawinan anak.
Penurunan angka perkawinan anak; kehamilan tidak direncanakan; kematian ibu dan anak menjadi kunci dari tercapainya program Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu dari The 17 Goals SDGs yang berbunyi “good health and well-being” memiliki arti bahwa kesehatan dan kesejahteraan yang baik merupakan target prioritas untuk dibenahi bersama. Di mana akses terhadap kesehatan harus universal atau dapat diakses siapapun termasuk kepada layanan kesehatan seksual dan reproduksi untuk dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan di dunia.
Namun, target prioritas yang disusun dalam mencapai kesehatan global pada tahun 2030 terancam gagal terwujud dengan adanya pandemi COVID-19. Nana Addo Dankwa Akufo-Addo dan Erna Solberg dari United Nation mengatakan bahwa pandemi telah mengekspos krisis dalam sistem kesehatan global. Pandemi mengungkap bagaimana prevalensi kemiskinan, sistem kesehatan yang lemah, kurangnya pendidikan, dan kerjasama global yang kurang optimal telah memperburuk krisis selama masa pandemi ini.
Perempuan dan Aksesibilitas
UN Women pada tulisannya berjudul New Data Show Women and Girls Far Less Likely to Receive COVID-19 Relief mengungkapkan bahwa COVID-19 berdampak secara sosio-ekonomi dan politik kepada perempuan. Hal ini membuat perempuan memiliki beban yang lebih besar baik di pekerjaan maupun rumah tangga daripada sebelum adanya pandemi COVID-19. Dilaporkan, 71 persen perempuan yang berusia 18-24 tahun mengalami stres, sedangkan laki-laki sebesar 59 persen.
Namun meskipun begitu, UN Women menemukan bahwa bantuan yang diberikan oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat kepada perempuan sangatlah kecil. Tidak banyak tersedia perlindungan sosial kepada perempuan menjadi akar permasalahan yang ada.
Selama pandemi COVID-19, selain ada peningkatan pernikahan anak juga ditemukan peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan berbasis gender (KBG), dan kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang korbannya sebagian besar adalah perempuan.
Target SDGs lainnya yang berbunyi “gender equality” yang memiliki arti kesetaraan gender dan “no poverty” yang memiliki arti tanpa kemiskinan menjadi relevan. Pandemi COVID-19 yang membuat angka kemiskinan meningkat dan kesetaraan gender menurun membuat banyak perempuan di berbagai negara menjadi semakin rentan.
Apakah Sobat Remaja sudah pernah membaca tulisan yang berjudul Hari Kesehatan Dunia: Kesehatan Seksual dan Reproduksi juga Hak Kita, Lho! yang dipublikasikan sobatask.id untuk memperingati World Health Day? Pada tulisan itu kita bisa menemukan contoh-contoh pelanggaran HKSR.
Di banyak negara, Sobat Remaja masih bisa menemukan banyak pelanggaran HKSR, salah satunya adalah rendahnya otonomi perempuan untuk mengambil keputusan atas seksual dan reproduksinya. Terlebih di negara dengan kondisi ekonomi yang rendah, apalagi dengan adanya COVID-19 yang berdampak kepada tingkat kemiskinan.
Penelitian dari United Nations Population Fund (UNFPA) berjudul Ensure Universal Access to Sexual and Reproductive Health and Reproductive Rights: Measuring SDG Target 5.6. mengungkap bahwa perempuan yang lebih berpendidikan, tinggal di perkotaan, dan berasal dari rumah tangga yang lebih kaya dapat cenderung membuat keputusan kesehatan seksual dan reproduksi sendiri. Sedangkan perempuan yang hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan akses, sulit untuk mengambil keputusan seksual dan reproduksi. Berdasarkan data dari 57 negara, hanya 55 persen perempuan di dunia yang dapat membuat keputusan sendiri mengenai kesehatan seksual dan reproduksi.
COVID-19 dan HKSR di Indonesia
Pandemi COVID-19 membuat tingkat kesetaraan gender turun dan jauh lebih buruk dari sebelumnya, hal ini tentu menghambat tercapainya tujuan SDGs. Pandemi membuat banyak perempuan tidak bisa mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi. HKSR perempuan terenggut sehingga banyak perempuan yang mengalami kehamilan berisiko karena perkawinan anak, kehamilan tidak direncanakan (KTD) karena kesulitan mengakses kontrasepsi, dan lainnya.
Laporan Pardee Center for International Futures dan United Nations Development Programme berjudul Pursuing the Sustainable Development Goals in a World Reshaped by COVID-19 mengatakan bahwa di masa pandemi COVID-19 perempuan menghadapi dampak kesehatan sekunder. Hal ini terjadi karena meningkatnya kematian maternal dan berkurangnya akses ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Analisis model International Futures (IF) memperkirakan kematian maternal dengan adanya pandemi COVID-19 akan lebih besar dibandingkan tidak adanya COVID-19.
Skenario di atas ditakutkan dapat benar-benar terjadi Sobat Remaja, terlebih ketika tingkat kehamilan tidak direncanakan (KTD) meningkat. Di Indonesia, sulitnya mengakses layanan untuk HKSR bagi perempuan telah membuat KTD meningkat. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan mewabahnya COVID-19 ini berpengaruh terhadap KTD karena adanya penurunan jumlah pelayanan KB secara nasional dari masing-masing jenis alat obat kontrasepsi.
Untuk mencapai target HKSR yang lebih baik pada 2030 dan mengurangi risiko KTD serta kematian ibu, UNFPA mengungkapkan bahwa hambatan hukum, medis, klinis dan peraturan yang tidak perlu untuk pemanfaatan layanan kesehatan seksual dan reproduksi harus dihapuskan. Selain itu, perlu juga ada perubahan norma sosial dan kebijakan dari pemerintah yang dapat memungkinkan perempuan untuk dapat menggunakan hak-hak reproduksi mereka sepenuhnya.
Di Indonesia masih banyak lho hambatan HKSR yang dapat Sobat Remaja temukan, selain dari kurangnya layanan kesehatan yang memadai, juga masih bisa kita temukan adanya diskriminasi pelayanan kesehatan. Seperti ditolaknya layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi seseorang yang belum menikah dan ditolaknya program KB karena diharuskannya izin suami.
Sobat Remaja, tingginya angka perempuan yang tidak memiliki otonomi atas tubuhnya pada kesehatan seksual dan reproduksi ternyata dapat mencederai HKSR perempuan. UNFPA beranggapan bahwa kebijakan dan program yang ada harus dapat mengatasi permasalahan ini karena memberikan otonomi tubuh kepada pemilik tubuh akan berkontribusi besar dalam mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan akses layanan seksual dan reproduksi yang lebih baik.
Setelah membaca tulisan di atas, apakah Sobat Remaja bisa melihat adanya hubungan yang erat antara isu gender, kesehatan, dan kemiskinan? Ternyata, satu isu dapat beririsan dengan banyak isu ya. Bahkan isu-isu di atas juga masih bisa beririsan dengan isu lainnya. Menurut Sobat Remaja, isu-isu di atas bisa beririsan dengan isu apalagi ya? Pasti banyak, terlebih jika kita membahas COVID-19 yang berdampak kepada banyak orang di muka bumi ini. Oh ya, Sobat Remaja juga bisa menceritakan dampak yang kalian rasakan di kolom komentar, lho. Kami semua ingin mengetahui pengalaman kalian. Ingatlah bahwa Sobat Remaja tidak sendirian!
Sumber:
Hughes, B.B., Hanna, T., McNeil, K., Bohl, D.K., & Moyer, J.D. (2021). Pursuing the Sustainable Development Goals in a World Reshaped by COVID-19. Denver, CO and New York, NY: Frederick S. Pardee Center for International Futures and United Nations Development Programme.
Azcona, G., Bhatt, A., Davies, S.E., Harman, S., Smith, J., & Wenham, C. (2020). Spotlight on Gender, COVID-19, and the SDGs: Will the Pandemic Derail Hard-won Progress on Gender Equality?. New York: United Nations Women.
United Nations Population Fund. (2020). Ensure Universal Access to Sexual and Reproductive Health and Reproductive Rights: Measuring SDG Target 5.6. New York.
United Nations Population Fund. (2018). Sexual and Reproductive Health and Rights: an Essential Element of Universal Health Coverage. New York.
United Nations. (2020). Amid the Coronavirus Pandemic, the SDGs are Even More Relevant Today than Ever Befor. Diakses melalui: https://www.un.org/sustainabledevelopment/blog/2020/04/coronavirus-sdgs-more-relevant-than-ever-before/
Uniter Nations Women. (2021). New Data Show Women and Girls Far Less Likely to Receive COVID-19 Relief. Diakses melalui: https://www.unwomen.org/en/news-stories/news/2021/12/new-data-show-women-and-girls-far-less-likely-to-receive-covid-19-relief
Media Indonesia. (2020). Pandemi COVID-19 Bisa Picu Kehamilan Tidak Diinginkan. Diakses melalui: https://m.mediaindonesia.com/humaniora/306321/pandemi-covid-19-bisa-picu-kehamilan-tidak-diinginkan
Kompas. (2021). Pernikahan Dini Meningkat selama Pandemi, BKKBN Gencarkan Edukasi. Diakses melalui: https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/01/100000523/pernikahan-dini-meningkat-selama-pandemi-bkkbn-gencarkan-edukasi?page=all
Kompas. (2021). Saat Siswi SMP Dinikahkan Orangtuanya Guru dan Temannya Demo Tolak. Diakses melalui: https://www.kompas.com/wiken/read/2021/10/10/222900981/saat-siswi-smp-dinikahkan-orangtuanya-guru-dan-temannya-demo-tolak?page=all
WebMD. (2020). Teenage Pregnancy. Diakses melalui: https://www.webmd.com/baby/teen-pregnancy-medical-risks-and-realities