[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”DENGAR”]
Buat warganet yang lagi rajin-rajinnya mantengin Twitter atau Facebook, belakangan ini tagar #MeToo yang dalam bahasa Indonesia menjadi #SayaJugaPernah lagi ramai-ramainya dibicarakan di seluruh dunia. Tagar ini, yang juga diterjemahkan ke berbagai bahasa, digunakan oleh perempuan (dan belakangan juga laki-laki) di seluruh dunia untuk menunjukkan bahwa para korban kekerasan seksual tidak sendirian. Bahwa ternyata, banyak orang di seluruh dunia yang mengalami kekerasan seksual, dan mereka berani bersolidaritas dengan sesama korban.
Memangnya, gimana ceritanya sih tagar yang satu ini bisa jadi viral?
Dimulai Sejak Zaman MySpace
Masih ingat MySpace? Media sosial yang satu ini sempat ngetop bertahun-tahun lalu, dan kampanye Me Too sebenarnya dimulai di kanal media sosial tersebut. Pada tahun 2006, seorang aktivis hak perempuan dan pekerja sosial bernama Tarana Burke mempopulerkan frase ‘Me Too’ (saya juga) untuk mempromosikan solidaritas antara perempuan kulit hitam yang mengalami kekerasan seksual.
Sekadar info, Burke bekerja di daerah Amerika Serikat yang tingkat kemiskinannya tinggi. Di sana, perempuan, terutama yang tidak berkulit putih–rentan mengalami kekerasan seksual.
Cerita di balik kata ‘Me Too’ ini tragis banget lho. Ketika Burke bekerja sebagai pendamping untuk korban di Alabama, Amerika Serikat, seorang gadis kecil berusia 13 tahun menghampirinya dan mengajak Burke curhat. Rupanya, gadis itu ingin curhat tentang pengalamannya mengalami pelecehan seksual. Burke sendiri pernah mengalami kekerasan seksual saat masih muda.
Tarana Burke
“Saat itu, saya belum siap mendengar cerita orang lain,” kisah Burke. “Maka ketika dia mulai bercerita, saya tidak mendengarkan dengan baik.” Alkisah, Burke meminta gadis itu ngobrol ke konselor yang lain dan sampai sekarang gadis itu tidak pernah terdengar lagi kabarnya. “Saya sangat menyesal,” lanjut Burke. “Kenapa ya, waktu itu saya enggak bisa bilang, “Saya juga pernah mengalami yang kamu alami?’”
Menguat Gara-gara Kasus di Dunia Film
Kampanye “Me Too”, yang dimulai Burke dari MySpace, terus berlanjut di dunia nyata. Sampai sekarang, Burke adalah aktivis sekaligus pekerja sosial yang berdedikasi untuk membantu korban pelecehan seksual. Tapi, kata “Me Too” baru jadi bahan perbincangan di seluruh dunia beberapa minggu belakangan.
Seorang produser film ngetop asal Amerika Serikat bernama Harvey Weinstein baru-baru ini terkena kasus pelecehan seksual yang serius. Banyak banget artis Hollywood ternama–mulai dari Angelina Jolie hingga Gwyneth Paltrow–bilang bahwa Weinstein sering melakukan pelecehan seksual kepada artis dan rekan kerjanya.
Skandal ini lagi bikin heboh Hollywood, dan Weinstein–salah satu produser paling dihormati dan paling senior di Hollywood–dicopot dari jabatannya.
Agar semakin banyak korban berani bersuara tentang pengalamannya dan menuntut pelaku kekerasan seksual bertanggung jawab, seorang aktris bernama Alyssa Milano mengajak semua followers-nya di Twitter untuk turut mengisahkan pengalaman mereka mengalami kekerasan seksual, dengan tagar #MeToo. Akhirnya, sebuah kampanye yang viral lahir. Jutaan warganet silih berganti menggunakan tagar #MeToo, termasuk artis-artis lain dan juga James van der Beek–artis laki-laki yang mengisahkan bahwa ia pun pernah mengalami pelecehan seksual.
Menginspirasi Tagar Balasan
James van der Beek bukan cuma satu-satunya laki-laki yang turut serta dalam kampanye #MeToo. Banyak warganet laki-laki ikut meramaikan tagar #MeToo dengan membagi kisah mereka mengalami kekerasan seksual–baik ketika kecil, maupun ketika dewasa.
Pengalaman-pengalaman tragis pada korban pelecehean seksual ini pun menginspirasi munculnya tagar #HowIWillChange (#BagaimanaSayaAkanBerubah). Tagar ini digunakan oleh banyak orang–terutama laki-laki–untuk mengungkapkan penyesalan mereka atas perlakuan yang tidak pantas kepada perempuan di masa lalunya.
Kerennya, kampanye ini jadi ajang bagi laki-laki dan perempuan untuk berdialog dan memahami bahwa kekerasan seksual adalah masalah yang harus diselesaikan bersama-sama.
Diinterpretasi Ulang dalam Berbagai Bahasa
Kampanye #MeToo akhirnya menyebar ke berbagai belahan dunia dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Di Perancis, misalnya, tagar #MeToo diganti jadi #BalanceTonPorc (Ungkap Nama Babi), di mana warganet yang menjadi korban kekerasan seksual diajak untuk membeberkan nama pelaku kekerasan seksual terhadapnya di dunia maya. Di Italia, perempuan berbagi cerita menghadapi kekerasan seksual dengan tagar #QuellaVoltaChe (waktu itu).
Enggak Harus Selesai di Internet
Seperti kata Tarana Burke, penggagas kampanye “Me Too”, gerakan ini enggak harus berakhir hanya karena #MeToo sudah enggak trending lagi di Twitter. “Jika kamu pernah mengalami kekerasan seksual dan kampanye ini membuatmu lebih berani untuk bersuara dan berbuat lebih bagi sesama, ada banyak organisasi yang bisa membantumu,” kata Burke.
“Coba jadi sukarelawan di hotline kekerasan seksual dan kasih konseling bagi korban. Kirim donasi ke lembaga amal yang membantu korban kekerasan seksual,” tuturnya. “Kalau hatimu tergerak, lakukan sesuatu.”
Siap!