Bagikan Artikel ini
SobatASK - Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Kamu Gak Sendirian!

5 Masalah Seksualitas yang Dihadapi Penyandang Disabilitas

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”DENGAR”]
Saat ini ada sekitar 650 juta penyandang disabilitas di seluruh dunia atau sekitar 10% populasi dunia. Mulai dari tunarungu (tak bisa mendengar), tunanetra (tak bisa melihat), tunadaksa (lumpuh/kesulitan bergerak), hingga tunagrahita (disabilitas mental). Saat ini juga ada ratusan cerita dari penyandang disabilitas yang mungkin jarang terpikir.

Dari sekian banyak asumsi ngawur dan mitos soal penyandang disabilitas, salah satu yang paling meleset dari sasaran adalah anggapan bahwa penyandang disabilitas itu enggak aktif secara seksual. Asumsinya adalah penyandang disabilitas enggak mengalami perkembangan seksual yang sama dengan non-disabilitas, sehingga seringkali hak kesehatan reproduksinya terbengkalai.

Ini bukan cuma asumsi atau pendapat ngasal. Menurut temuan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (2009), ada beberapa masalah seksualitas kesehatan reproduksi (kespro) yang dihadapi penyandang disabilitas di seluruh dunia, berikut di antaranya.

 

Tidak terbiasa bertanggung jawab atas tubuh dan dirinya sendiri.

Sebenarnya yang jadi masalah bukan disabilitasnya, tapi sikap masyarakat terhadap disabilitas itu sendiri. Kebanyakan masyarakat menganggap penyandang disabilitas adalah manusia yang tidak sempurna, sehingga tidak mungkin memiliki kemampuan dan hak yang sama. Oleh karena itu, penyandang disabilitas tidak dibiasakan untuk bertanggung jawab atas tubuhnya sendiri, dan diajarkan bahwa pelecehan seksual yang dilakukan orang lain kepada mereka itu enggak boleh.

Menurut temuan WHO, penyandang disabilitas “hampir tidak punya pengalaman soal hubungan dengan orang lain”. Sekilas ini terkesan remeh temeh. Tapi, bayangin kalau kamu enggak pernah diajarin bahwa kamu boleh menolak kalau ditembak sama orang lain, atau kalau kamu enggak pernah dikasih tahu bahwa kamu boleh menolak kalau ada orang lain yang pegang-pegang kamu tanpa izinmu. Kamu bahkan mungkin tidak diajari kalau kamu berhak mengizinkan dan tidak memberi izin orang lain untuk menyentuh tubuhmu.

Mentalitas semacam inilah yang bikin penyandang disabilitas jauh lebih mudah menjadi korban pelecehan seksual dan lebih rentan terhadap perlakuan kasar dari orang lain.

Omong-omong soal itu…

 

Sering dipaksa melakukan hal yang tidak disadari.

WHO menemukan bahwa “penyandang disabilitas sering dilarang membentuk hubungan romantis dengan orang lain atau mereka dipaksa untuk menikah dengan orang tanpa seizin mereka”. Yang bikin lebih parah, setelah menikah penyandang disabilitas tetap menghadapi diskriminasi dari pasangan. Karena dianggap “merepotkan” dan derajatnya lebih rendah ketimbang non-disabilitas, seringkali disabel diperlakukan sebagai “pembantu atau subyek kekerasan ketimbang sebagai anggota keluarga”.

Miris ya.

 

Lebih berisiko jadi korban pelecehan seksual.

Seperti kami bilang tadi, faktanya penyandang disabilitas tiga kali lipat lebih berisiko menjadi korban kekerasan seksual ketimbang non-disabilitas. Terutama, seseorang yang tunagrahita.

Penyandang disabilitas seringkali ditempatkan di ruang yang berisiko terkena pelecehan seksual. Entah karena tinggal di panti yang tidak dikelola dengan baik, di rumah di mana anggota keluarga seringkali malah jadi pelaku kekerasan, atau yang masih sering terjadi di Indonesia, dipasung.

 

Kesulitan mengakses layanan.

Ada beberapa alasan kenapa penyandang disabilitas terus berisiko menjadi korban kekerasan seksual. Tapi, ada satu alasan paling mendasar, seringkali, penyandang disabilitas bahkan tidak bisa mengakses layanan kesehatan reproduksi sama sekali.

Di Indonesia, materi soal kesehatan reproduksi saja sudah susah diakses oleh non-disabilitas. Terus, bagaimana jika tunarungu dan enggak ada juru bahasa isyarat untuk menjelaskan materinya? Bagaimana jika ada yang membagikan buku panduan soal kesehatan reproduksi, tapi enggak ada versi huruf braillenya?

Klinik yang menyediakan layanan kesehatan ramah remaja saja sudah jarang. Tapi, bagaimana jika ada klinik, tapi jaraknya jauh, dan tidak ada akses masuk yang ramah untuk orang dengan kursi roda atau tunadaksa? Bagaimana jika meja pemeriksaannya tinggi, dan tidak bisa dinaik-turunkan? Masa pasien yang tunadaksa itu harus digendong?

 

Dianggap tidak penting.

Yang paling bermasalah adalah penyandang disabilitas dianggap tidak penting. Mereka dianggap tidak aktif secara seksual, tidak punya kehendak dan dorongan seksual, dan tidak akan berkembang secara sosial, psikologis, dan fisik seperti layaknya non-disabilitas.

Di Indonesia, stigma untuk anak muda yang mengakses layanan kesehatan saja sudah besar. Kalau kamu ke klinik yang bukan klinik ramah remaja, dan kamu belum menikah, lantas kamu minta dites HIV/AIDS, ada kemungkinan kamu bakal dipelototin sama suster kayak kamu hantu. Tentu saja, ini mulai berubah pelan-pelan, tapi banyak layanan kesehatan yang punya stigma khusus terhadap penyandang disabilitas. Memangnya mereka ngerti soal kesehatannya sendiri?” Asumsi ngawur semacam itu suka muncul soal penyandang disabilitas.

Kita baru kaget dan sadar soal kesehatan reproduksi penyandang disabilitas ketika tunagrahita yang dipasung tiba-tiba hamil, atau temanmu yang tunarungu mengaku diperkosa orang. Di saat itulah biasanya baru sadar bahwa penyandang disabilitas juga manusia, mereka juga punya kehidupan seksual seperti non-disabilitas, dan tidak semestinya mereka dipinggirkan.

 

Sumber
“Promoting sexual and reproductive health for persons with disabilities: WHO/UNFPA guidance note”, 2009.
unfpa.org/publications/promoting-sexual-and-reproductive-health-persons-disabilities
http://challengesmedia.com

Ingin Mendapatkan Kabar Terbaru dari Kami?

Berlangganan Nawala Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Artikel SobatASK Lainnya

Jelajahi berbagai informasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi remaja dari sumber yang terpercaya.

Kamu Gak Sendirian!
Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.