Bagikan Artikel ini
SobatASK - Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Kamu Gak Sendirian!

6 Mitos soal Disabilitas

Kali ini, SobatASK mau ngobrol tentang sesuatu yang dekat, tapi belum tentu dipahami: penyandang disabilitas. Di Indonesia sendiri, hak penyandang disabilitas sudah dijamin oleh Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang baru aja disahkan Maret lalu. Tunarungu (tuli), tunanetra (buta), tunadaksa (cacat tubuh) hingga tunagrahita (cacat mental) punya hak yang sama untuk menikmati hidup dengan segala suka dukanya, sama seperti seseorang yang tidak menyandang disabilitas.

Tapi, masih ada aja mitos soal disabilitas dan perlu diluruskan, seperti mitos-mitos berikut ini!

 

MITOS #1 Semua orang tunarungu bisa membaca bibir.

Banyak yang berasumsi bahwa tunarungu bisa memahami apa yang orang lain ucapkan dengan membaca bibir. Tapi, membaca bibir enggak semudah itu. Enggak semua kata dan ucapan yang diutarakan bisa dibaca dari gerakan bibir. Seseorang yang membaca bibir juga perlu memperhatikan faktor lain seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan sisa pendengaran (jika tidak sepenuhnya tuli).

Kebanyakan orang tunarungu enggak berkomunikasi lewat membaca bibir, melainkan menggunakan bahasa isyarat yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Di Indonesia, misalnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa isyarat Indonesia atau yang biasa disebut BISINDO.

 

MITOS #2 Semua orang yang memakai kursi roda itu lumpuh total.

Beberapa pengguna kursi roda sebenarnya bisa berjalan. Namun karena kekuatan tubuh yang enggak seberapa, penggunaan kursi roda adalah untuk membantu bergerak. Prinsipnya, kursi roda itu sama dengan sepeda atau motor yang merupakan alat untuk membantu bergerak. Meskipun begitu, tentu memang ada tunadaksa yang memang sama sekali enggak bisa berjalan kaki dan butuh kursi roda.

 

MITOS #3 Tunarungu tidak bisa bicara.

Gangguan pendengaran enggak merusak pita suara, jadi secara teknis tunarungu tetap bisa bersuara dan berbicara. Hanya saja, tunarungu tidak bisa mendengar dan memantau suaranya sendiri–dan itu yang menyulitkan ketika harus menggunakan suara untuk berkomunikasi. Buat yang tidak tunarungu, bisa bayangkan kalau sedang berada di konser atau acara yang ramai dan mencoba bicara tanpa teriak. Oleh sebab itu, meski tunarungu bisa bersuara, namun lebih memilih menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.

 

MITOS #4 Penyandang disabilitas tidak aktif secara seksual.

Semua manusia, pada dasarnya, adalah makhluk seksual, tak terkecuali penyandang disabilitas. Semua sama, sama-sama bisa horny, bisa naksir sama orang lain, dan bisa aktif secara seksual. Jangan salah, cara penyandang disabilitas mengekspresikan seksualitasnya juga sama beragamnya seperti yang bukan penyandang disabilitas.

Ada asumsi yang tersirat bahwa hidup penyandang disabilitas enggak bersinggungan dengan seksualitas. Padahal enggak juga. Yang bikin ngeri, asumsi salah ini membuat mereka rentan jadi korban pelecehan seksual. Maksudnya? Baca poin berikutnya!

 

MITOS #5 Penyandang disabilitas enggak jadi korban kekerasan seksual.

Justru sebaliknya. Penyandang disabilitas juga rentan jadi korban kekerasan seksual–malah lebih rentan. Menurut aktivis disabilitas Jaka Tanukusuma, “Perempuan penyandang disabilitas tunarungu dan tunagrahita paling banyak menjadi korban kekerasan seksual. Mereka tidak bisa berteriak dan sangat ketakutan ketika diancam untuk diam oleh pelaku. Sedangkan perempuan tunagrahita secara mental dan intelektual sulit membedakan antara eksploitasi dan kekerasan seksual dengan cinta.”

Penyandang disabilitas menemui banyak hambatan saat mencoba melapor ke pihak berwajib. Lebih mengesalkannya lagi, laporannya sering diabaikan pihak kepolisian. Menurut aktivis dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), “Banyak yang laporan ke saya, banyak anak tuli yang mengalami kekerasan seksual. Ketika kami melapor, banyak (petugas kepolisian) yang menertawakan, karena ekspresi kami yang dianggap lucu saat menceritakan kronologi kejadian.” Bayangin deh, sudah kamu jadi korban kekerasan seksual, kamu ditertawakan pula sama polisi saat melapor.

 

MITOS #6 Penyandang disabilitas enggak perlu pendidikan seks.

Sejauh ini kita sudah sama-sama tahu bahwa penyandang disabilitas enggak cuma aktif secara seksual, bahkan malah lebih rentan jadi korban kekerasan seksual ketimbang non-disabilitas.

Karena inilah, penyandang disabilitas tetap butuh pendidikan seks. Sama seperti semua orang, penyandang disabilitas perlu paham soal tubuhnya sendiri, seksualitasnya, dan diberi pengetahuan yang memadai agar dia bisa mengambil keputusan yang bijak.

Hanya karena kamu penyandang disabilitas, bukan berarti kamu enggak berhak memahami tubuhmu sendiri.

 

 

Sumber:
sexuality.about.com/od/disability/p/disability_sex1.htm
easterseals.com/explore-resources/facts-about-disability/myths-facts.html

Sumber foto:
hochomecare.wordpress.com

Ingin Mendapatkan Kabar Terbaru dari Kami?

Berlangganan Nawala Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Artikel SobatASK Lainnya

Jelajahi berbagai informasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi remaja dari sumber yang terpercaya.

Kamu Gak Sendirian!
Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.