Esa, begitulah perempuan ini biasa disapa. Mahasiswi Fakultas Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, dulunya adalah aktivis Paguyuban Anak Ponorogo (PAP) yang menjabat sebagai ketua periode 2019-2021.
PAP merupakan kelompok remaja yang digagas oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Beberapa programnya antara lain pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan (KTPAP) dan pencegahan perkawinan anak di pedesaan.
Esa terkendala banyak hal saat bertugas, mulai dari minimnya pengetahuan kespro hingga stereotip masyarakat
Dalam menyosialisasikan program PAP di Kabupaten Ponorogo, Esa dan timnya sempat merasa kesulitan untuk menarik perhatian anak muda karena isu yang diangkat masih terlalu abstrak bagi mereka dan belum ditanggapi secara serius. Padahal enggak sedikit kasus perkawinan anak perempuan dengan laki-laki yang lebih dewasa.
Setelah ditelisik, sikap masa bodoh anak muda terhadap isu-isu yang diangkat adalah karena kurangnya pendidikan seks komprehensif, baik di rumah maupun di sekolah. Dari lingkungan keluarga terutama, masih menganggap isu tentang perkawinan anak dan seputar kesehatan reproduksi sebagai hal tabu. Akibatnya, banyak anak muda yang menonton tayangan pornografi sebagai pelarian dari gejolak hormon yang enggak dikelola secara benar.
Sementara itu, akses terhadap alat kontrasepsi masih sangat terbatas sehingga anak muda di Kabupaten Ponorogo berisiko mengalami Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) hingga Infeksi Menular Seksual (IMS).
Esa juga menemukan bahwa relasi pergaulan di antara remaja cenderung mengarah pada kekerasan. Mirisnya, korban enggak berniat untuk membicarakan atau melaporkannya lantaran takut dihujat.
Upaya mengatasi perilaku berisiko berupa pendidikan kespro dan penguatan prinsip anak muda
Bersama timnya, Esa berupaya mengatasi perilaku berisiko di Kabupaten Ponorogo dengan menyediakan informasi dan kesehatan kespro yang komprehensif.
Harapannya, anak muda lebih memahami hak dan fungsi reproduksinya dengan benar sehingga bisa berperilaku dengan lebih bertanggung jawab.
Selain itu, Esa bersama tim juga mendorong anak muda untuk memikirkan masalah pernikahan dengan matang dan menolak perkawinan anak di bawah umur. Dengan ini, diharapkan mereka bisa merencanakan masa depannya dengan lebih baik.
Kiprah Esa sebagai aktivis PAP menghantarnya ke pengalaman organisasi yang lebih luas
Sejak berkecimpung sebagai aktivis PAP, Esa sempat dipercaya sebagai Youth Champion se-Kabupaten Ponorogo dan menjadi anggota National Youth Coalition yang fokus mencegah perkawinan anak.
Esa juga terpilih menjadi fasilitator Child & Youth Advisory Network dalam program Save the Children – Child Led Advocacy Campaign di Jawa Timur dan Lombok, termasuk dalam kampanye ini adalah mencegah perkawinan anak. Esa juga sempat terlibat aktif dalam penyusunan policy brief mengangkat suara remaja dalam era pandemi.
Meski kini harus merantau ke Surabaya untuk melanjutkan studi, Esa tetap aktif melanjutkan peran sebagai fasilitator di PAP melalui daring. Itu baru namanya berkiprah.
Semoga kisah Esa menginspirasi anak muda, termasuk kamu, untuk lebih aware terhadap isu-isu terkait kespro, perkawinan anak, dan kekerasan seksual, ya!
Sumber:
Hasil wawancara eksklusif bersama Esa oleh penulis