“There is no disgrace in being a survivor of sexual violence – the shame is on the aggressor” – Angelina Jolie.
Kalimat tadi adalah kutipan speech Angelina Jolie tentang kejahatan seksual dalam konferensi internasional untuk mengakhiri kekerasan seksual dalam perang di London tahun 2014 lalu. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa kekerasan seksual bukanlah aib bagi korban, melainkan pelaku kekerasan seksual yang seharusnya merasa malu.
Perkataan artis terkenal Hollywood itu memang powerful banget, Sobat Remaja. Gimana enggak? Sampai sekarang, banyak negara khususnya di negara kita tercinta ini yang terjadi justru sebaliknya. Kasus kekerasan seksual masih sering dianggap sebagai aib yang harus disembunyikan dengan rapi. Mirisnya lagi, seringkali korban malah ‘dihakimi’ seolah-olah kesalahan terdapat pada korban, sementara pelaku bisa hidup tenang dan kembali mencari korban-korban lain.
Banyak Kasus Kekerasan Seksual yang Tidak Terungkap
Sobat Remaja pasti masih ingat deh dengan kasus Gilang ‘fetish kain jarik’ yang viral di pertengahan tahun ini. Konon, pelaku sudah aktif melakukan kejahatan seksualnya pada banyak korban sejak tahun 2015. Hingga salah satu penyintas nge-spill perbuatan jahat Gilang di media sosial dan menjadi trending topic di Twitter pada Juli lalu, belum ada satupun korban yang melaporkan Gilang ke kepolisian. Terhitung sampai Agustus 2020, korban kejahatan Gilang telah mencapai 25 orang.
Kasus fetish kain jarik bukan satu-satunya. Masih banyak lagi kasus kekerasan seksual yang akhirnya terungkap setelah mendapat perhatian di sosial media. Budaya spill kasus kekerasan seksual di media sosial akhir-akhir ini juga menyadarkan mimin bahwa banyak sekali kasus kekerasan yang telah terjadi di masa lampau dan baru muncul ke permukaan bertahun-tahun kemudian. Dengan kata lain, butuh waktu yang lama bagi penyintas untuk memberanikan diri membagikan kisahnya. Bagi penyintas, speak up memang bukan suatu hal yang mudah. Terlebih jika tindakan kekerasan diiringi dengan ancaman dan intimidasi dari pelaku. Tidak menutup kemungkinan, banyak korban kekerasan yang memilih untuk menyimpan sendiri pengalamannya menghadapi pelaku kejahatan seksual.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan, jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia ibarat fenomena gunung es.
Jumlah kasus yang tercatat di Kementerian PPPA diperoleh dari jumlah laporan kekerasan yang diterima lembaga atau layanan pengaduan di Kabupaten/Kota. Sementara itu, jumlah kasus kekerasan yang sebenarnya tidak tercatat. “Kemungkinan besar data yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak dibandingkan data yang terlaporkan.” Ujarnya.
Siti Mazuma, Direktur LBH APIK dalam keterangannya untuk Asumsi.co mengatakan, 80% korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya ke pihak berwajib. Menurut Siti Mazuma, faktor-faktor penyebab mereka enggan bersuara akan kasusnya diantaranya faktor diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan sistem hukum di Indonesia. Penyintas seringkali takut untuk melaporkan kasusnya karena faktor keluarga dan lingkungan, yaitu mereka takut akan persekusi, reaksi victim blaming dan lingkungan yang malah membela pelaku, hingga pemberitaan yang mengeksploitasi informasi pribadinya.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Perjuangan penyintas kekerasan seksual tidak hanya berhenti pada mengobati traumanya saja. Terkadang, penyintas juga harus menghadapi reaksi negatif dari lingkungannya. Kecenderungan menyalahkan penyintas inilah yang dinamakan victim blaming. Peluk jauh dari mimin untuk para penyintas {}
Mengapa Korban Kekerasan Seksual dianggap Aib?
Saat ini, korban kekerasan seksual masih didominasi oleh penyintas perempuan. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018) menunjukkan 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
Selain itu, anggapan korban kekerasan seksual sebagai aib juga sering disematkan pada penyintas kekerasan perempuan. Perempuan yang dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan membuat penyintas perempuan enggan menceritakan dan melaporkan kasusnya. Anggapan bahwa perempuan yang pernah melakukan aktifitas seksual maka hilang kehormatannya masih melekat di kepala banyak orang.
Anggapan yang sangat keliru ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang mempengaruhi pandangan dan perilaku yang mengakar di masyarakat, Sobat Remaja. Kebiasaan tersebut berlangsung lama dan membentuk nilai-nilai yang akhirnya dipercaya masyarakat. Stigma tentang kehormatan dan kesucian perempuan adalah buah dari budaya patriarki yang diskriminatif.
Kalau melihat dari sudut pandang korban, seharusnya tidak ada lagi stigma-stigma negatif tentang penyintas.
Bagaimanapun, gak ada yang memilih untuk menjadi korban kekerasan seksual. Jika salah satu teman Sobat Remaja menjadi korban kekerasan seksual, cobalah untuk mendampinginya untuk membuatnya nyaman dan aman, serta berusaha bersikap suportif. Memberikan empati kepada korban dan percaya sepenuhnya dengan cerita korban bisa membantu mereka untuk mengurangi tekanan mental yang mereka alami. Di kondisi tersebut, Sobat Remaja harus bisa menjadi teman dan pendengar yang baik, ya.
Bagi korban kekerasan seksual, dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat sangat penting.
Dukungan secara psikologis dari lingkungan terdekat bahkan bisa mencegah korban mengalami trauma berkepanjangan yang biasa dikenal dengan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Jika dirasa perlu bantuan pemulihan psikis lebih lanjut, korban dan pendamping bisa meminta bantuan tenaga profesional seperti psikolog ataupun psikiater. Korban kekerasan seksual juga bisa memilih untuk melaporkan kasusnya pada lembaga bantuan hukum seperti LBH Apik, Komnas Perempuan, Komnas Anak, maupun lembaga sejenis.
Ditulis oleh Naili Rahmah
Glosarium:
Penyintas: orang yang mampu bertahan; survivor
Fetish: Kondisi ketika seseorang akan merasakan kepuasan seksual dari benda hidup maupun benda mati
Stigma: ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya
Patriarki: Budaya mengutamakan laki-laki diatas perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu
Diskriminatif: Bersifat membeda-bedakan
PTSD: Gangguan secara emosi akibat peristiwa yang dialami korban dan telah terjadi selama lebih dari tiga puluh hari.
Sumber :
CNN Indonesia. 2020. Korban Gilang Bungkus Jarik 25 orang Sejak 2015. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200808162026-12-533599/korban-gilang-bungkus-jarik-25-orang-sejak-2015
CNN Indonesia. 2020. Kronologi Heboh Kasus Fetish Gilang Bungkus Kain Jarik. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200731084638-20-530908/kronologi-heboh-kasus-fetish-gilang-bungkus-kain-jarik
CNN. 2014. Angelina Jolie: Rape in war is not inevitable, shame is on the aggressor. https://edition.cnn.com/2014/06/10/world/violence-against-women-summit/index.html
Asumsi.co.2020. Kenapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melaporkan Kasusnya?. https://asumsi.co/post/kenapa-korban-kekerasan-seksual-enggan-melaporkan-kasusnya
Endi Sukarno – Radar Jogja. 2019. Perempuan dalam Cengkraman Budaya Patriarki. https://radarjogja.jawapos.com/opini/2019/10/09/perempuan-dalam-cengkraman-budaya-patriarki/
KEMENPPPA. 2019. Kemen PPPA Luncurkan Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Snphar Tahun 2018. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2123/kemen-pppa-luncurkan-hasil-survei-nasional-pengalaman-hidup-anak-dan-remaja-snphar-tahun-2018
Klikdokter. 2016. Terapi Psikologis untuk Korban Kekerasan Seksual
https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/2697602/terapi-psikologis-untuk-korban-kekerasan-seksual