Sobat Remaja, masih ingat kan dengan artikel sebelumnya tentang Beauty Standard di media sosial? Bagaimana media sosial mendorong penggunanya untuk ‘patuh’ pada konformitas standar kecantikan yang bersifat ‘Eurosentris’ dan membuat kita tergoda untuk menggunakan filter maupun aplikasi photo editing agar penampilan fisik kita lebih sesuai dengan standar tersebut. Hal ini ternyata dapat berpengaruh besar loh! Terutama dengan peningkatan tendensi body shaming dan beauty bullying yang dapat terjadi di ruang bebas internet.
Selama menggunakan media sosial apakah pernah menemukan komentar negatif di kolom unggahan seseorang mengenai wajah maupun tubuh mereka? Atau justru, kamu sendiri yang mengalami? Tentu bukanlah pengalaman yang menyenangkan untuk menemukan komentar semacam itu.
Berdasarkan data Central for Digital Society FISIPOL UGM tahun 2021, di masa pandemi, sebesar 19.8% anak muda berusia 13-24 tahun menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial untuk kegiatan edukasi maupun rekreasional akibat adanya pembatasan wilayah yang terjadi. Mau tidak mau, ruang media sosial dan internet menjadi wadah utama dalam bersosialisasi. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemungkinan kita dirundung dalam ruang siber karena peningkatan aktivitas di ruang tersebut.
Beauty bullying: pernahkah kamu mengalaminya?
Ketika Sobat Remaja menemukan komentar negatif mengenai kondisi fisik seseorang, fenomena ini dapat disebut sebagai beauty bullying. Jenis perundungan ini didasarkan pada stereotip kecantikan ideal bagi perempuan maupun laki-laki. Namun, hal tersebut lebih sering terjadi pada perempuan. Standar kecantikan perempuan berakar pada acuan mengenai bentuk tubuh dan aspek fisik perempuan yang ‘feminim’ di sebuah kelompok masyarakat. Ketika seseorang dianggap tidak memenuhi kriteria standar kecantikan yang berlaku, seringkali ia dapat perlakuan berbeda dari orang di sekitarnya.
Perkataan seperti “Hidungmu keliatan besar di foto” atau “Kamu kurus banget, gak pernah makan ya?” menjadi penanda bahwa standar kecantikan dijadikan sebagai kontrol sosial, padahal seharusnya hanya tiap individu sendiri yang bisa mendefinisikan tampan maupun cantik dirinya. Orang lain tidak berhak untuk itu.
Catatan The Cybersmile Foundation menemukan bahwa beauty bullying telah menjadi permasalahan yang dialami banyak perempuan di dunia. Secara spesifik, 23% perempuan muda di seluruh dunia pernah mengalami perundungan ini, jumlah ini setara dengan 55 juta perempuan. 11% dari mereka mengalaminya dengan intensitas berulang dan sering. Sementara itu, 17% dari mereka juga pernah melakukan intimidasi ini atau menjadi pelaku beauty bullying kepada orang lain.
Mengenal dampak beauty bullying pada diri
Penyebab terjadinya beauty bullying menurut buku Psikologi kecantikan: Beauty is Pain & Disorder diantaranya adalah:
- Adanya standar kecantikan sebagai kontrol sosial
- Menganggap hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar dan menjadikannya sebagai sebuah lelucon sehari-hari
- Menyamakan dan menerapkan standar kecantikan diri pada orang lain
- Tidak mengetahui bagaimana dampak body shaming maupun beauty bullying pada orang lain.
Keempat hal tersebut, ditambah dengan peningkatan penggunaan media sosial di masa pandemi, menaruh pengguna media sosial pada semakin tingginya bahaya menjadi korban beauty bullying. Apa yang harus diketahui dari perilaku intimidasi ini adalah, terdapat dampak yang ditimbulkan pada diri Sobat Remaja. Perundungan ini berdampak pada kondisi fisik, psikologis, dan sosial, diantaranya yaitu perilaku diet ekstrem yang mengganggu kesehatan serta dapat menyebabkan seseorang menarik diri dari interaksi sosial akibat berkurangnya rasa percaya diri.
Korban merasa terintimidasi tiap kali mereka bersiap-siap untuk pergi keluar atau akan memposting sesuatu secara online. Mereka berpikir bahwa penampilan fisik mereka membuat mereka dengan bebas dapat dirundung. Hal ini menyebabkan ketakutan untuk mengekspresikan diri akibat rendahnya kepercayaan diri, terutama dalam ranah media sosial yang secara ironis justru lekat dengan kebebasan berekspresi.
Media sosial seharusnya menjadi ruang aman yang inklusif bagi semua orang, tanpa terkecuali. Beauty bullying dapat merampas keamanan tersebut dari seseorang.
Lawan dan buktikan!
Lantas apa yang harus dilakukan ketika Sobat Remaja menghadapi komentar negatif tentang penampilan fisik kita?
Menghargai dirimu, menjadi langkah pertama dalam memerangi beauty bullying. Percayalah bahwa setiap individu memiliki kualitas diri masing masing yang sama baiknya. Definisi cantik atau tampan milikmu, sudah tentu berbeda dengan temanmu atau orang lain di sekitarmu. Jangan biarkan mereka mendefinisikannya untukmu!
Memulai dari dirimu merupakan langkah besar yang terlihat kecil. Tinggi, pendek, kurus, gemuk, tahi lalat, kulit terang maupun gelap, bahkan jerawat di wajahmu itu normal kok!
Bagaimana kita menghargai diri kita dan perbedaan di antara sesama menjadi hal yang sangat penting dalam menghadapi beauty bullying secara bersama. Apa yang kita perbuat yang akan menjadi roda penggerak perubahan, dan hal tersebut tidak dipengaruhi oleh penampilan fisik kita. Bila kamu melihat orang di sekitarmu mendapatkan komentar negatif mengenai penampilan fisik mereka, bantu mereka mengembalikan kepercayaan diri dan beri tahu pelaku bahwa tindakannya menyakiti orang lain. Langkah lain yang dapat diambil adalah dengan memblokir pelaku dan melaporkan akun media sosial pelaku dengan fitur report yang disediakan oleh penyedia layanan media sosial. Fitur ini sudah tersedia di berbagai platform di antaranya adalah Facebook, Twitter, Instagram, & Tiktok.
Kamu tidak sendirian! Bila Sobat Remaja atau orang di sekitar kamu menjadi korban beauty bullying dan membutuhkan pertolongan profesional, berikut beberapa lembaga yang dapat membantumu:
- Telepon Pelayanan Sosial Anak (TePSA): 1500 771, atau via Whatsapp 081238888002
- Yayasan Pulih: 021-78842580 atau via Whatsapp 08118436633 (pada jam kerja dan hari kerja
- Ikatan Psikolog Klinis Indonesia: https://covid19.ipkindonesia.or.id/ atau https://ipk.bz/covid19
Daftar Pustaka
Central for Digital Society. (2021). Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia. FISIPOL UGM.
Digital 2022: Indonesia — DataReportal – Global Digital Insights. (2022). Retrieved 15 March 2022, from https://datareportal.com/reports/digital-2022-indonesia
Lestari, S., & Kurniawati, Y. (2020). Psikologi kecantikan. Beauty is pain & disorder. Malang: Edulitera.
The Cybersmile Foundation. (2021). Beauty Cyber Bullying – Expression Repression.