Bagikan Artikel ini
SobatASK - Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Kamu Gak Sendirian!

11 Mitos soal LGBT

Belakangan ini, ada banyak banget obrolan yang berseliweran soal LGBT. Ada yang seru, ada yang malesin. Ada yang mendalam, ada yang gitu-gitu aja. Tapi yang bikin SobatASK khawatir, masih ada banyak teman-teman kita yang suka kemakan informasi salah soal LGBT.

Nah, biar kamu enggak ikut asal bunyi dan ngeluarin fakta yang salah, SobatASK mau ngasih beberapa mitos dan fakta soal LGBT. Dibaca baik-baik dan dengan kepala dingin ya 🙂

 

MITOS #1: Kalau seorang laki-laki kelihatan “melambai”, dia pasti gay.

Kadang, kita mikir bahwa perilaku atau pembawaan seseorang bisa menunjukkan orientasi seksualnya. Apakah dia hetero (menyukai lawan jenis) atau homo (menyukai sesama jenis). Padahal, pembawaan atau ekspresi seseorang tidak ada hubungannya dengan orientasi seksualnya. Bisa saja seorang laki-laki kelihatan kemayu dan perangainya lemah lembut, namun ia heteroseksual. Begitu pun, belum tentu seorang perempuan yang feminin menyukai lawan jenis.

MITOS #2: LGBT terjadi karena trauma masa kecil.

Ada yang bilang bahwa pengalaman seksual kita di masa kecil bisa membentuk orientasi seksual seseorang ketika dewasa. Karena itu, LGBT dianggap sebagai hasil dari ‘trauma’ masa kecil seseorang yang dilecehkan oleh orang dewasa sesama jenis. Pelecehan seksual – apalagi kepada anak kecil – adalah sesuatu yang sangat melanggar hukum dan patut dilawan. Namun, belum tentu orientasi seksual seseorang ditentukan hanya oleh pengalaman seksual di masa kecil ini.

MITOS #3: Pasti ada “penyebab” seseorang menjadi LGBT.

Sebenarnya, kita belum tahu pasti apa penyebab orientasi seksual seseorang, baik penyebab seseorang berorientasi hetero maupun homo. Ada macam-macam faktor yang saling mendukung dan mempengaruhi. Mulai dari faktor genetis, biologis, hingga faktor lingkungan. Riset menunjukkan bahwa orientasi seksual seseorang ditentukan pada usia 0-3 tahun, namun temuan ini belum pasti.

Belum ada studi yang menemukan “gen gay” satu gen yang pasti menyebabkan seseorang berorientasi homoseksual. Tapi, ada gen-gen tertentu yang memperbesar kemungkinan tersebut. Jurnal Psychological Medicine dari Universitas Cambridge, misalnya, menunjukkan bahwa ada gen di kromosom X yang lebih banyak ditemukan di pria gay.

MITOS #4: LGBT itu pilihan.

Apakah seseorang “terlahir” LGBT?

Sekali lagi, kita belum tahu pasti apa ‘penyebab’ orientasi seksual. Ini bidang yang masih diriset secara serius oleh berbagai ilmuwan, dokter, dan psikolog yang ahli. Banyak teman LGBT mengakui bahwa mereka telah merasakan ketertarikan pada sesama jenis sejak usia dini. Ada pula yang baru merasakan ketertarikan tersebut setelah mereka dewasa.

Yang jelas, laporan dari American Psychological Association (APA) menyebut bahwa “kebanyakan orang tidak merasa memilih orientasi seksual mereka.” Kamu yang hetero, misalnya, enggak pernah duduk merenung di kamar dan memutuskan untuk “menjadi hetero”, kan? Itu sudah ketertarikan dan dorongan alamiah yang ada di dalam dirimu. Hal yang sama berlaku juga bagi teman-teman kita yang LGBT.

Ini ada hubungannya juga dengan anggapan bahwa…

MITOS #5: LGBT bisa berubah dan bisa disembuhkan.

Faktanya, seksualitas itu tidak berhenti di satu tempat. Pengalaman dan ketertarikan dua orang yang sama-sama merasa hetero bisa beda jauh, begitu juga dengan dua orang yang sama-sama merasa homo. Orientasi seksual, ekspresi seksual, dan ketertarikan seseorang bisa berubah seiring berjalannya waktu.

Namun, tidak berarti seseorang lantas bisa dipaksa untuk mengubah orientasi seksualnya. Kamu, misalnya, menyukai lawan jenis. Mau kamu dipukul, disiramin air Zam Zam, dan dihina berkali-kali sekalipun, tetap enggak akan bisa dipaksa menyukai sesama jenis, kan? Kenapa begitu? Karena kamu memang hetero! Itu dorongan hatimu dan itu yang bikin kamu nyaman.

Terapi penyembuhan LGBT bukan saja terbukti tidak efektif. Terapi tersebut seringkali meninggalkan trauma mendalam pada seseorang, karena dia merasa dipaksa untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi bagian dari dirinya sejak lama.

MITOS #6: LGBT bisa menular dan LGBT ingin menularkan orientasi seksualnya ke orang lain.

Kita semua pernah mendengar kisah ini: ada seorang pria muda, kita panggil saja dia Joko. Dia hetero. Namun karena terlalu banyak bergaul dengan ‘kaum LGBT’, mendadak dia ‘berubah menjadi gay.’

Tapi, bagaimana dengan cerita begitu banyak kawan hetero lainnya yang berteman dengan LGBT, namun tetap menyukai lawan jenis? Bagaimana dengan teman di tongkronganmu yang gay, namun tetap menyukai sesama jenis meski hampir semua temannya hetero?

Sekali lagi, orientasi seksualmu adalah sesuatu yang ada di dalam dirimu. Jika kamu sudah nyaman dan tumbuh hanya dengan dorongan kepada lawan jenis, kamu tidak akan serta-merta berubah mencintai sesama jenis. Orang-orang seperti Joko, yang seolah ‘berubah orientasi’, sebenarnya sudah memiliki ketertarikan pada sesama jenis. Cuma, dia enggak bilang-bilang karena masih belum nyaman dengan identitasnya sendiri.

Jadi, enggak ada ‘agenda besar’ untuk menularkan LGBT pada orang. Karena, orientasi seksual  toh enggak bisa ditularkan. Hetero tidak bisa menularkan heteroseksualitas kepada homo, dan begitu pun sebaliknya.

MITOS #7: Kalau LGBT dilegalkan, nanti semua orang jadi LGBT. Terus, populasi Indonesia bakal habis!

Baca lagi mitos nomor 4-6 deh. Enggak mungkin semua orang ‘berubah menjadi LGBT’ karena orientasi seksual bukan seperti baju yang bisa digonta-ganti semudah itu.

Lagipula, kalau orang yang enggak bisa beranak pinak dianggap merusak populasi, bagaimana dengan pasangan suami-istri yang tidak bisa menghasilkan keturunan karena satu atau lain alasan?

MITOS #8: LGBT terlalu banyak memamerkan dirinya.

Sebenarnya, teman-teman LGBT sudah jadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Hampir semua orang pasti kenal sedikitnya satu orang yang orientasi seksualnya tidak sama atau minimal tidak mirip dengan mereka. Yang jadi masalah adalah, kenapa sekarang mendadak semua orang pada ribut soal itu?

Agak aneh lho kalau kita menuduh seseorang pamer orientasi seksualnya hanya karena dia sudah menerima identitasnya sendiri dan berani terbuka. Sebetulnya, mereka yang pamer orientasi atau kita aja yang terlalu kepo?

MITOS #9: LGBT enggak sesuai dengan budaya Indonesia.

Belum tentu, lho. Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan secara tradisional mengenal lima jenis gender: bura’ne (laki-laki), makunrai (perempuan), calabai (lelaki yang seperti perempuan), calalai (perempuan yang seperti lelaki), dan bissu – pemuka agama tradisional yang memiliki dua elemen gender: laki-laki sekaligus perempuan. Adat dari Bima di NTB juga mengenal empat gender: siwe (perempuan), dende (perempuan bersifat lelaki), mone (laki-laki), dan mone kode (laki-laki yang bersifat keperempuanan). Karya sastra Jawa kuno, Serat Centhini, bahkan berkali-kali menulis tentang hubungan seksual sesama jenis.

Terutama di Bugis, kelima gender tersebut secara tradisional hidup secara damai dan berdampingan dengan masyarakat. Bissu bahkan dianggap sebagai pemuka agama dan tokoh masyarakat yang penting. Tradisi-tradisi ini baru memudar setelah era kolonialisme.

Jadi, kalau dibilang bahwa budaya Indonesia sama sekali tidak pernah mengenal LGBT, Indonesia yang mana dulu?

MITOS #10: Homoseksualitas itu gangguan jiwa.

Indonesia sudah lama menetapkan bahwa homoseksualitas bukan gangguan jiwa. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III tahun 1993 secara tegas menyatakan, “Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.” Jika tidak percaya, sila lihat sendiri fotonya:

12745998_1155922427781171_8568636567556279758_n

MITOS #11: “Hewan saja enggak ‘main’ dengan sesama jenis, masa manusia iya?”

Manusia bukan satu-satunya spesies yang melakukan hubungan homoseksual. Kera macaque Jepang betina selalu berhubungan badan dengan sesama betina saat musim kawin. Perilaku homoseksual juga diobservasi di berbagai spesies singa, simpanse, bison, lumba-lumba, dan ratusan spesies burung.

Jadi, jangan bilang lagi kalau “hewan aja enggak homo’ ya. Karena ada banyak banget perilaku homoseksual yang didokumentasikan juga di hewan.

MITOS #12: Kalau LGBT dibiarin, nanti pedofil dan ‘pecinta hewan’ minta haknya diakui juga.

Dalam hubungan yang sehat, ada satu konsep yang enggak bisa ditawar-tawar: konsen. Buat yang belum nangkep apa itu konsen, baca dulu artikel kami di sini. Bagi yang sudah paham, silakan lanjut.

Seorang yang dewasa dan mampu bertanggung jawab atas keputusannya sendiri bisa bersepakat untuk melakukan sesuatu dengan orang dewasa lain. Ini yang enggak terjadi dalam kasus pedofil atau orang-orang yang mau berhubungan seksual dengan hewan. Anak kecil dan hewan kan enggak bisa bertanggung jawab atas keputusannya sendiri dan enggak bisa sadar akan konsekuensi perbuatannya juga. Makanya, enggak masuk akal kalau kita bilang bahwa membiarkan LGBT akan membuat pedofil dan ‘pecinta hewan’ jadi ribut minta pengakuan juga.

Mau itu dilakukan antara sesama jenis atau beda jenis, kalau konsen ini enggak ada, perilaku itu tergolong kekerasan seksual. Enggak ada hubungannya sama orientasi, kan?

Jangan sampai kita terbutakan oleh perdebatan ini, sampai kita lupa untuk mengecek fakta dan menyebarkan informasi yang salah kaprah. Berantem dan kisruh itu malesin, mending kita bicara benar dan ngobrol dengan santai dan terbuka.

Kalau kamu masih ada pertanyaan soal LGBT, atau mau nanya apakah informasi yang kamu tahu itu mitos atau fakta, jangan ragu untuk nanya di fitur chat atau komentar ya! 😀

 

 

Sumber:
historia.id/budaya/toleransi-gender-di-masyarakat-sulawesi-selatan
slate.com/blogs/outward/2015/04/20/can_gays_and_bis_turn_straight_what_the_evidence_says_about_ex_gay_therapy.html
sciencemag.org/news/2015/10/homosexuality-may-be-caused-chemical-modifications-dna
case.edu/lgbt/resources/safe-zone-resources/truth/
nobullying.com/gay-people/
livescience.com/50058-being-gay-not-a-choice.html

Ingin Mendapatkan Kabar Terbaru dari Kami?

Berlangganan Nawala Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.