Bagikan Artikel ini
SobatASK - Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Kamu Gak Sendirian!

5 Mitos Pernikahan Anak

Hari ini lebih dari 100 tahun lalu, salah satu pahlawan perempuan paling terkenal di Indonesia berulang tahun. Ya, selamat ulang tahun Kartini!

Walau ia meninggal di usia yang sangat muda, pemikiran-pemikiran yang dilahirkan Kartini semasa hidupnya maju banget. Dia enggak cuma menentang diskriminasi yang dihadapi perempuan, tidak adanya pendidikan bagi perempuan, dan budaya Jawa yang menurutnya memojokkan perempuan. Dia juga dikenal sebagai sosok yang menentang habis-habisan pernikahan anak.

Pada masa hidupnya, satu-satunya jalan agar anak perempuan bisa melihat dunia adalah dengan dinikahkan. “Selama ini hanya satu jalan terbuka bagi Gadis Bumiputera untuk menempuh hidup, yaitu kawin,” tulisnya pada Nona E.H Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900. Perempuan saat itu dipingit alias dilarang keluar rumah sejak umur 12 tahun, dan hanya bisa keluar rumah lagi setelah dinikahkan. Walhasil, enggak kaget dong kalau pada masa itu banyak banget yang menikah muda, bahkan menikah di usia anak.

Lebih dari 100 tahun telah lewat sejak zamannya R.A Kartini. Tapi, sampai sekarang pernikahan anak masih jadi masalah di Indonesia dan dunia. Sayangnya, masih banyak yang sibuk menyuruh-nyuruh temannya menikah cepat dan melupakan beberapa mitos dari menikah di usia terlalu muda. Misalnya…

 

“Pernikahan Anak Sudah Jarang”

Kata siapa? Pernikahan di usia anak itu lebih umum dari yang kita kira lho. Menurut data dari UNFPA, sekitar 1 dari 3 anak perempuan di negara-negara berkembang menikah sebelum usia 18 tahun. Data dari UNICEF malah lebih ngeri lagi: diperkirakan bahwa 700 juta perempuan di dunia saat ini menikah sebelum usia 18 tahun, dan 250 juta orang menikah sebelum usia 15 tahun. Artinya, sekitar 10 persen anak perempuan di dunia menikah sebelum usia 18 tahun.

Bagaimana dengan di Indonesia? Faktanya, kita salah satu negara dengan angka pernikahan anak tertinggi di dunia. Menurut temuan Susenas 2014 yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik, 11,75 persen perempuan berusia 15-19 tahun sudah menikah, atau pernah menikah.

Pernah menikah? Iya! Karena, menikah pada usia terlalu muda adalah salah satu faktor perceraian terparah di Indonesia dan dunia.

 

“Pernikahan Anak itu Pilihan Masing-Masing Orang”

Iya, sebagian orang yang menikah pada usia muda memang memutuskan untuk melakukan itu secara sadar. Tapi, enggak semua orang bisa memilih.

Di Indonesia (dan seluruh dunia), pernikahan anak seringkali terjadi akibat kemiskinan dan tidak adanya akses pada pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan. Kok bisa begitu? Simak cuplikan dari laporan kami di ICFP 2016 di Bali, tahun lalu:

Di Bondowoso, misalnya, kondisi ekonomi yang sangat buruk membuat orang tua melihat pernikahan anak sebagai salah satu cara agar mereka terlepas dari ‘beban’ untuk menghidupi sang anak perempuan. Dengan menikahkan anaknya, tanggung jawab ekonomi untuk menghidupi anak tersebut beralih ke suaminya.

Sayangnya, ini berarti bahwa banyak anak perempuan di Bondowoso menikah sebelum mereka siap. “Sebanyak 48,7 persen pernikahan di Bondowoso terjadi pada usia 16 tahun ke bawah. Dan dalam waktu setahun, 50 persen sudah bercerai.” Ucap Zumrotin K Soesilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan. Lebih mirisnya lagi, banyak perempuan muda ini telah memiliki anak sebelum bercerai. Dan karena tidak memiliki pendidikan atau pengalaman kerja yang mencukupi, mereka kesulitan memberi makan anaknya. ‘Banyak perempuan ini akhirnya menjadi pekerja seks, dan anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang semestinya.’”

Ada juga banyak faktor lain yang menyebabkan pernikahan anak–misalnya, praktik budaya yang mendukung pernikahan di usia dini, dan dorongan dari orang-orang sekitar yang membuat seseorang tergerak untuk menikah sebelum ia siap.

 

“Menikah Muda Enggak Apa-Apa, Kesehatanmu Akan Baik-Baik Saja”

Kalau kamu menikah sebelum tubuhmu siap, ada banyak banget dampak buruk bagi kesehatan jasmani dan rohanimu. Menurut situs Girls not Brides, bayi yang dikandung oleh perempuan berusia di bawah 20 tahun lima puluh persen lebih berisiko terlahir dalam keadaan telah meninggal, atau meninggal dalam waktu beberapa minggu setelah melahirkan. Lebih jauh lagi, menikah sebelum usia 18 tahun membuat perempuan lebih berisiko terkena virus HIV.

Pernikahan anak juga punya banyak banget dampak lain ke kesehatan reproduksi perempuan. Di antaranya, perempuan yang menikah di usia muda berisiko mengalami kanker leher rahim, trauma fisik pada vagina, dan kehamilan berisiko tinggi.

 

“Pernikahan Anak Enggak Ada Dampaknya Buat Orang Lain”

Kerugian yang dialami oleh negara karena pernikahan anak itu banyak banget, lho. Menurut studi dari Amjad Rabi (2015), Indonesia mengalami kerugian pendapatan sebanyak Rp171,6 triliun atau 1,7% total pendapatan negara Indonesia pada tahun 2014. Perhitungan lain dari Sonny Harmadi (2016) menghasilkan angka yang lebih mengkhawatirkan. Pernikahan anak diperkirakan menyebabkan kerugian Rp267,6 triliun rupiah bagi negara atau sekitar 3,09% pendapatan negara.

Kenapa bisa begitu? Pikirkan, deh, apa yang terjadi pada perempuan yang menikah di usia muda. Mereka biasanya dikeluarkan dari sekolah – entah karena mereka hamil dan sekolahnya malu, atau karena tuntutan suaminya. Padahal, seringkali suaminya juga bukan juragan kaya yang punya tanah seribu milyar hektar.

Perempuan ini cuma lulusan SMP, atau putus sekolah saat SMA. Kadang, laki-lakinya juga cuma lulusan SMP. Mereka tinggal di daerah pedesaan (menurut data dari BPS, 75% korban pernikahan anak tinggal di desa) dan tidak punya akses ke lapangan pekerjaan yang luas. Lagipula, pekerjaan macam apa yang bisa didapat oleh lulusan SMP? Mau jadi apa mereka dan anak mereka nantinya? Apalagi, menurut UNFPA, anak hasil dari pernikahan usia anak lebih rentan terkena penyakit dan lebih rendah pendidikannya. Lingkaran setan itu pun berlanjut.

Masa depan yang mereka hadapi suram banget. Mereka melewatkan usia produktif, dan tak bisa berkontribusi banyak bagi masyarakat.

 

“Lebih Baik Menikah di Usia Muda Ketimbang Berzina”

Oke, dengarkan kami dulu.

Benar, alangkah lebih baiknya kalau kamu tidak “berzina” dan tidak melanggar ketentuan dari kepercayaan yang kamu pegang. Benar, alangkah lebih baiknya kalau kamu menghindari dari perilaku seksual berisiko yang faktanya bisa membuatmu terpapar pada Infeksi Menular Seksual.

Tapi, ‘menghindari dari zina’ bukan alasan yang masuk akal untuk mendukung pernikahan usia anak.

Faktanya, menikah pada usia anak – atau usia apapun di mana seseorang sebetulnya belum siap menikah, baik secara fisik maupun mental – akan berdampak buruk bagi masa depan seseorang.

Apakah tujuan hidup kamu hanya untuk menikahi dan dinikahi? Apakah tujuan hidup kamu hanya untuk menghindari zina, dan kemudian menikah cepat-cepat supaya enggak dosa? Serius? Segitu doang tujuan hidup kamu?

Bayangkan dunia di mana 700 juta perempuan yang menikah di usia dini itu mendapat pendidikan yang layak, bisa mengakses layanan kesehatan yang baik, dan punya kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan mengejar cita-citanya. Bayangkan kontribusi yang bisa mereka berikan bagi masyarakat di sekitarnya kalau mereka mampu tamat sekolah, mendapat pekerjaan yang baik, dan mampu menopang keluarganya ketika dia akhirnya memutuskan untuk berkeluarga.

Karena pernikahan anak, mereka semua terpinggirkan. Dan harusnya enggak begitu!

 

 

 

Sumber:
pontianakpost.co.id/kartini-dan-pernikahan-dini
republika.co.id/berita/koran/halaman-1/16/10/06/oem64633-pernikahan-dini-rentan-perceraian
girlsnotbrides.org/700-million-women-married-children-reveals-new-unicef-data/
unfpa.org/news/top-10-myths-about-child-marriage
girlsnotbrides.org/8-child-marriage-myths-bust-international-womens-day-2017/
girlsnotbrides.org/themes/health/

Ingin Mendapatkan Kabar Terbaru dari Kami?

Berlangganan Nawala Yayasan Gemilang Sehat Indonesia

Logo Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - Full White

Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Kami percaya bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi manusia harus dilihat secara positif tanpa menghakimi dan bebas dari kekerasan.

Keranjang
  • Tidak ada produk di keranjang.